PEREMPUAN
SEBAGAI MODAL POLITIK ATAU POLITIK MODAL?
(ANALISA
KETERKAITAN GENDER DENGAN BUDAYA POLITIK
DI KABUPATEN
GAYO LUES)
OLEH: SARTIKA
MAYASARI, SSTP, M.A
(Penulis
adalah Alumni Sekolah Pascasarjana Fakultas Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta dan PNS
pada Setdakab Gayo Lues)
Membahas
mengenai perempuan ibarat menggali sumur zam-zam, semakin digali semakin
berlimpah air dan manfaat yang diberikannya. Demikian halnya ketika berbicara mengenai
perempuan, akan selalu menarik, apik dan terkadang menggelitik untuk dikupas
tuntas. Maka, wajarlah ketika perempuan diperbincangkan mulai dari kede kupi hingga parlemen, peran
perempuan akan menjadi opini dan kontribusi.
Dalam
sejarah perjalanan politik Aceh, peran perempuan tidak terlepas dari pengamatan
para ilmuwan politik yang secara lugas menjelaskan beberapa kesuksesan
perempuan sebagai empu peran (pemilik
peran), khususnya pada Kerajaan Aceh Darussalam, baik dibidang pemerintahan,
politik hingga medan pertempuran seperti Laksamana Malahayati. Kesuksesan
kepemimpinan Perempuan Aceh telah dimulai sejak abad ke-16 (Fajriah dkk, 2007).
Mulai dari kepemimpinan Sulthanah Safiatuddin (1641-1676), Sulthanah Nurul Alam
Naqiyatuddin Syah (1675-1678), Sulthananh Inayat Zakiyatuddin Syah (1678-1688)
dan terakhir Sulthananh Kamalat Syah (1688-1699).
Terlepas dari hal
tersebut, dalam Kontestasi politik di Aceh pada pemilukada yang hari “H”-nya
akan diselenggarakan pada 16 Februari 2012 (jika tidak ada perubahan) akan
datang, terdapat beberapa nama perempuan yang ikut berkompetisi pada kontestasi
politik, termasuk di Kabupaten Gayo Lues. Tentunya hal ini menjadi penantian
yang signifikan bagi penentuan arah kebijakan bagi tujuh belas pemerintah
Kabupaten/Kota yang secara serentak akan menyelenggarakan pemilukada di Aceh.
Kabupaten Gayo Lues yang
genap berumur satu dekade sebagai Kabupaten yang terbilang mulai masuk aqil
baligh, merupakan salah satu daerah yang juga ikut dalam pemilukada tersebut.
Para bakal calon telah mendaftarkan diri dan mengambil nomor urut ke KIP Gayo
Lues guna memastikan sebagai calon pasangan yang akan ikut pada kontestasi
politik pada pemilukada periode ini.
Menjadi pemandangan baru
bagi warna politik di Kabupaten Gayo Lues
pada pemilukada periode ini, selain menampilkan wajah baru dengan peta
idiologis politik yang berbeda, terdapat salah seorang kandidat perempuan yang
sebelumnya belum pernah ada pada aras politik di Kabupaten Gayo Lues.
Keikutsertaaan perempuan
dalam pemilukada menunjukan bahwa adanya akseptabilitas publik (penerimaan
masyarakat) terhadap perempuan. Menurut kemitraan (2011) akseptabilitas
perempuan dalam jabatan publik setidaknya ditentukan oleh beberapa aspek. Pertama,
perempuan setidaknya telah memiliki ambisi personal, sebuah tahapan yang
penting untuk mendapatkan kekuasaan politik. Kedua, adanya peluang
jabatan yang memungkinkan perempuan muncul sebagai kandidat politik. Dalam
konteks ini perempuan setidaknya memiliki estimasi sumber-sumber politik
sehingga bisa mengkampanyekan dirinya dalam proses kandidasi. Ketiga,
dukungan organisasi politik sebagai suatu gerakan yang mendukung kepentingan
perempuan yang memungkinkan perempuan dicalonkan.
Akseptabilitas
di atas tidak dapat dilepaskan dengan keterkaitannya akan budaya politik sebagai modal politik bagi
perempuan untuk mengikuti kontestasi politik. Karena politik itu sendiri
merupakan bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Harus ada ambisi,
peluang jabatan serta dukungan dari konstituen politik (khusus di Aceh terdapat
calon perorangan (independen) yang tidak mengharuskan adanya dukungan
organisasi politik tertentu).
Secara teoritis modal politik itu sendiri merupakan
aktivitas warga negara untuk mencapai kekuasaan dan demokrasi (J.A.Booth dan P.B.Richard), sedangkan
menurut A.Hick dan J.Misra (1993) mengatakan modal politik adalah berbagai
fokus pemberian kekuasaan/sumber daya untuk merealisasikan hal-hal yang dapat
mewujudkan kepentingan. Jadi dapat disimpulakan bahwa modal politik dan
keterkaitannya dengan posisi perempuan dalam kancah politik adalah sebagai
individu yang harus mengumpulkan sumber daya (resources)
politik agar dapat mewujudkan kepentingan dan kekuasaan.
Kembali
kepada ketiga aspek akseptabilitas politik diatas, dapat pula dikatakan bahwa
perempuan harus mampu menonjolkan kemampuan serta kelebihan yang dimilikinya
sebagai aktor politik dengan berbagai sumber daya yang dimilikinya seperti:
sikap moral yang baik, intelektualitas yang baik, jaringan sosial yang luas
(networking) serta pendidikan politik yang mumpuni. Hal ini yang pada akhirnya
akan menjadi modal politik perempuan dalam berpolitik, mengingat budaya politik
di Kabupaten Gayo Lues yang masih baru dengan kandisasi perempuan dalam kancah
politik.
Terkait
mengenai sumberdaya politik perempuan yang telah disebutkan diatas, Perempuan
sendiri dapat menjadi modal politik bagi dirinya sendiri, hal ini sangat
dimungkinkan dapat terjadi ketika para masyarakat pemilih menginginkan wajah
dan atmosfer baru pada jabatan politis yang mungkin selama ini sangat
maskulinitas. Sehingga peran perempuan dalam kancah politik tidak bisa
dipandang sebelah mata. Hal ini tentunya akan menjadi pemikiran bagi kandidat
lainnya untuk melengkapi kekurangan peta politik masing-masing calon untuk
lebih peka terhadap kebutuhan perempuan atas nama pengarustamaan gender (Gender Mainstreaming).
Disamping
itu pula, Setiap akan diselenggarakannya kontestasi politik, perempuan dalam
berpolitik sering sekali mengalami benturan (clash) terhadap budaya lokal. Hambatan tersebut dapat terjadi
seperti: pertama, Adanya anggapan
atau Steorotif negatif pada perempuan dalam berpolitik, hal ini mengingat bahwa
budaya local (local culture) serta mindset masyarakat awam masih terbelenggu dengan pola pikir lama (old mindset) yang meng-interprestasikan
bahwa perempuan selayaknya hanya punya peran sebatas sumur, kasur dan dapur,
lambat laun dengan sendirinya budaya tersebut terpola dalam mindset masyarakat
yang terkonotasi bahwa perempuan tidak bisa keluar dari frame atau kerangka tiga hal tersebut (sumur, dapur dan kasur).
Budaya lokal semacam ini menjadi ketakutan bagi para penganut paham lama yang
meragukan kiprah perempuan dalam dunia politik.
Kedua, Perempuan tidak memiliki
pengetahuan tentang politik itu sendiri, sehingga perempuan hanya dijadikan
sebagai “jargon kemengan semu”, atau sang perempuan karena hanya memiliki massa yang banyak serta
berkecukupan “money politics” akhirnya
dimanfaatkan untuk kemengan pihak tertentu dalam kancah politik. Hal ini yang akhirnya disebut dengan politik modal. Dan
Ketiga, kurangnya pendidikan politik bagi perempuan selain memunculkan
“perempuan dijadikan sebatas politik modal”, akan juga memberi dampak bahwa
perempuan tidak dapat memberikan kontribusi positif bagi politik itu sendiri
dan akan pasif dalam menjalankan roda kekuasaan yang akan diperankannya.
Dari
ketiga ancaman ini, akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa, perbedaan antara
modal politik dan politik modal sangat erat kaitannya tergantung bagaimana kita
menyikapinya, disamping budaya politik yang kontribusinya tidak dapat kita
abaikan untuk mewujudkan kemenganan dalam kontestasi politik. Terlepas dari itu
semua, apapun jargon dan ideeologinya setiap para tokoh politik harus ingat
satu hal bahwa “All politic is local”.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar