Sabtu, 16 Januari 2016

PEREMPUAN SEBAGAI MODAL POLITIK ATAU POLITIK MODAL?



PEREMPUAN SEBAGAI MODAL POLITIK ATAU POLITIK MODAL?
(ANALISA KETERKAITAN GENDER DENGAN BUDAYA POLITIK
DI KABUPATEN GAYO LUES)


OLEH: SARTIKA MAYASARI, SSTP, M.A
(Penulis adalah Alumni Sekolah Pascasarjana Fakultas Ilmu Politik
 Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta dan PNS pada Setdakab Gayo Lues)


            Membahas mengenai perempuan ibarat menggali sumur zam-zam, semakin digali semakin berlimpah air dan manfaat yang diberikannya. Demikian halnya ketika berbicara mengenai perempuan, akan selalu menarik, apik dan terkadang menggelitik untuk dikupas tuntas. Maka, wajarlah ketika perempuan diperbincangkan mulai dari kede kupi hingga parlemen, peran perempuan akan menjadi opini dan kontribusi.
  Dalam sejarah perjalanan politik Aceh, peran perempuan tidak terlepas dari pengamatan para ilmuwan politik yang secara lugas menjelaskan beberapa kesuksesan perempuan sebagai empu peran (pemilik peran), khususnya pada Kerajaan Aceh Darussalam, baik dibidang pemerintahan, politik hingga medan pertempuran seperti Laksamana Malahayati. Kesuksesan kepemimpinan Perempuan Aceh telah dimulai sejak abad ke-16 (Fajriah dkk, 2007). Mulai dari kepemimpinan Sulthanah Safiatuddin (1641-1676), Sulthanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678), Sulthananh Inayat Zakiyatuddin Syah (1678-1688) dan terakhir Sulthananh Kamalat Syah (1688-1699).
Terlepas dari hal tersebut, dalam Kontestasi politik di Aceh pada pemilukada yang hari “H”-nya akan diselenggarakan pada 16 Februari 2012 (jika tidak ada perubahan) akan datang, terdapat beberapa nama perempuan yang ikut berkompetisi pada kontestasi politik, termasuk di Kabupaten Gayo Lues. Tentunya hal ini menjadi penantian yang signifikan bagi penentuan arah kebijakan bagi tujuh belas pemerintah Kabupaten/Kota yang secara serentak akan menyelenggarakan pemilukada di Aceh.
Kabupaten Gayo Lues yang genap berumur satu dekade sebagai Kabupaten yang terbilang mulai masuk aqil baligh, merupakan salah satu daerah yang juga ikut dalam pemilukada tersebut. Para bakal calon telah mendaftarkan diri dan mengambil nomor urut ke KIP Gayo Lues guna memastikan sebagai calon pasangan yang akan ikut pada kontestasi politik pada pemilukada periode ini.
Menjadi pemandangan baru bagi warna politik di Kabupaten Gayo Lues  pada pemilukada periode ini, selain menampilkan wajah baru dengan peta idiologis politik yang berbeda, terdapat salah seorang kandidat perempuan yang sebelumnya belum pernah ada pada aras politik di Kabupaten Gayo Lues.  
Keikutsertaaan perempuan dalam pemilukada menunjukan bahwa adanya akseptabilitas publik (penerimaan masyarakat) terhadap perempuan. Menurut kemitraan (2011) akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik setidaknya ditentukan oleh beberapa aspek. Pertama, perempuan setidaknya telah memiliki ambisi personal, sebuah tahapan yang penting untuk mendapatkan kekuasaan politik. Kedua, adanya peluang jabatan yang memungkinkan perempuan muncul sebagai kandidat politik. Dalam konteks ini perempuan setidaknya memiliki estimasi sumber-sumber politik sehingga bisa mengkampanyekan dirinya dalam proses kandidasi. Ketiga, dukungan organisasi politik sebagai suatu gerakan yang mendukung kepentingan perempuan yang memungkinkan perempuan dicalonkan.
Akseptabilitas di atas tidak dapat dilepaskan dengan keterkaitannya  akan  budaya politik sebagai modal politik bagi perempuan untuk mengikuti kontestasi politik. Karena politik itu sendiri merupakan bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Harus ada ambisi, peluang jabatan serta dukungan dari konstituen politik (khusus di Aceh terdapat calon perorangan (independen) yang tidak mengharuskan adanya dukungan organisasi politik tertentu).
Secara teoritis modal politik itu sendiri merupakan aktivitas warga negara untuk mencapai kekuasaan dan demokrasi  (J.A.Booth dan P.B.Richard), sedangkan menurut A.Hick dan J.Misra (1993) mengatakan modal politik adalah berbagai fokus pemberian kekuasaan/sumber daya untuk merealisasikan hal-hal yang dapat mewujudkan kepentingan. Jadi dapat disimpulakan bahwa modal politik dan keterkaitannya dengan posisi perempuan dalam kancah politik adalah sebagai individu yang harus mengumpulkan sumber daya (resources) politik agar dapat mewujudkan kepentingan dan kekuasaan.
Kembali kepada ketiga aspek akseptabilitas politik diatas, dapat pula dikatakan bahwa perempuan harus mampu menonjolkan kemampuan serta kelebihan yang dimilikinya sebagai aktor politik dengan berbagai sumber daya yang dimilikinya seperti: sikap moral yang baik, intelektualitas yang baik, jaringan sosial yang luas (networking) serta pendidikan politik yang mumpuni. Hal ini yang pada akhirnya akan menjadi modal politik perempuan dalam berpolitik, mengingat budaya politik di Kabupaten Gayo Lues yang masih baru dengan kandisasi perempuan dalam kancah politik.
Terkait mengenai sumberdaya politik perempuan yang telah disebutkan diatas, Perempuan sendiri dapat menjadi modal politik bagi dirinya sendiri, hal ini sangat dimungkinkan dapat terjadi ketika para masyarakat pemilih menginginkan wajah dan atmosfer baru pada jabatan politis yang mungkin selama ini sangat maskulinitas. Sehingga peran perempuan dalam kancah politik tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini tentunya akan menjadi pemikiran bagi kandidat lainnya untuk melengkapi kekurangan peta politik masing-masing calon untuk lebih peka terhadap kebutuhan perempuan atas nama pengarustamaan gender (Gender Mainstreaming).
Disamping itu pula, Setiap akan diselenggarakannya kontestasi politik, perempuan dalam berpolitik sering sekali mengalami benturan (clash) terhadap budaya lokal. Hambatan tersebut dapat terjadi seperti: pertama, Adanya anggapan atau Steorotif negatif pada perempuan dalam berpolitik, hal ini mengingat bahwa budaya local (local culture) serta mindset masyarakat awam masih  terbelenggu dengan pola pikir lama (old mindset) yang meng-interprestasikan bahwa perempuan selayaknya hanya punya peran sebatas sumur, kasur dan dapur, lambat laun dengan sendirinya budaya tersebut terpola dalam mindset masyarakat yang terkonotasi bahwa perempuan tidak bisa keluar dari frame atau kerangka tiga hal tersebut (sumur, dapur dan kasur). Budaya lokal semacam ini menjadi ketakutan bagi para penganut paham lama yang meragukan kiprah perempuan dalam dunia politik.
Kedua, Perempuan tidak memiliki pengetahuan tentang politik itu sendiri, sehingga perempuan hanya dijadikan sebagai “jargon kemengan semu”, atau sang perempuan karena  hanya memiliki massa yang banyak serta berkecukupan “money politics” akhirnya dimanfaatkan untuk kemengan pihak tertentu dalam kancah politik. Hal ini  yang akhirnya disebut dengan politik modal. Dan Ketiga, kurangnya pendidikan politik bagi perempuan selain memunculkan “perempuan dijadikan sebatas politik modal”, akan juga memberi dampak bahwa perempuan tidak dapat memberikan kontribusi positif bagi politik itu sendiri dan akan pasif dalam menjalankan roda kekuasaan yang akan diperankannya.
Dari ketiga ancaman ini, akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa, perbedaan antara modal politik dan politik modal sangat erat kaitannya tergantung bagaimana kita menyikapinya, disamping budaya politik yang kontribusinya tidak dapat kita abaikan untuk mewujudkan kemenganan dalam kontestasi politik. Terlepas dari itu semua, apapun jargon dan ideeologinya setiap para tokoh politik harus ingat satu hal bahwa “All politic is local”.
.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar