Sabtu, 16 Januari 2016

MEMAKNAI HARI KARTINI SEBAGAI INSTROSPEKSI (SEBUAH SERUAN UNTUK PARA SEBERU GAYO)



MEMAKNAI HARI KARTINI SEBAGAI INSTROSPEKSI
(SEBUAH SERUAN UNTUK PARA SEBERU GAYO)
OLEH : SARTIKA MAYASARI, SSTP[1]
(Telah diterbitkan di Majalah Lentayon edisi IV, APRIL/2008)

            Membaca sebuah buku inspiratif yang dikarang oleh ulama kontemporer A’id Al-Qarni (pengarang Buku La Tahzan) yang berjudul ”Menjadi Wanita Paling Berbahagia di Dunia”. Agaknya sebuah langkah untuk menebar inspirasi, Untuk itu penulis ingin berbagi mengenai indahnya setiap kata ,baris, kalimat dan paragraf dari tulisan beliau dan mencoba menuangkan substansi dari makna perempuan sesungguhnya dalam tulisan tersebut.
Setiap segmen dalam tulisan beliau mengetengahkan Spirit Of Life (semangat kehidupan) khususnya sebagai perempuan untuk selalu optimis dan mensyukuri apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya sebagai perempuan. Setiap mozaik dari tulisan tersebut mengemukakan keindahan perempuan sebagai wadah untuk bersyukur dan meningkatkan kemapanan diri guna memberi manfaat (usefull) bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).
            Dari sepenggal substansi tulisan tersebut, dapat dikatakan alangkah bahagianya menjadi perempuan yang telah diangkat derajatnya. Dapat dibayangkan ketika para perempuan dulu sebelum datangnya Islam, mengalami diskriminasi yang amat hebat, kaum perempuan dijadikan sebagai objek malapetaka tanpa diberi sedikitpun kebebasan untuk berekspresi, tulisan tersebut mengajak para perempuan untuk memiliki pertahanan yang kuat agar tidak mudah terjebak dalam zaman ”jahiliyah modern”.       
Tulisan Aid Al-qarni telah menyihir jutaan masyarakat dunia, tulisan yang mengedepankan etika yang tinggi namun tidak ketinggalan zaman, pemaknaan terhadap Islam yang strategis tanpa menyudutkan pihak manapun, sungguh luar biasa karya-karya yang ditorehnya.
  Hubungannya dengan eksistensi para Perempuan Aceh pada umumnya saat ini telah mengalami krisis yang berkepanjangan, di Gayo Lues tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi, mengapa tidak??, bukankah di Aceh pada zaman kejayaan Sultan Iskandar Muda, kita melihat bagaimana perempuan-perempuan muncul sebagai panglima perang, Laksamana Malahayati misalnya.
Perempuan muncul sebagai regulator, contohnya Putri Kamaliyah (Putroe Phang) beliau adalah istri Sultan Iskandar Muda yang berhasil membentuk Dewan Perwakilan Kerajaan atau yang sekarang disebut dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).  Terakhir kita mengenal Cut Nyak Dhien, tokoh perempuan kharismatik dari Butong Ateuh ini telah membawa perubahan besar terhadap wajah Aceh dimata kolonial Belanda karena strategi perang dan wibawa yang dimilikinya, sungguh menakjubkan.
Tidak ketinggalan di Kabupaten Gayo Lues, kita memiliki pahlawan perempuan yang mulai kita lupakan, Inen Mayak Tri, merupakan perempuan tangguh dari desa Pining, dengan semangat membara mengawal pertempuran menyerang kafir Belanda, sungguh luar biasa semangat yang didengungkannya, karena kecintaan atas suami tercinta, pembuktian cinta yang mengajawantah, luar biasa!!!
Kembali kepada kita yang hidup tidak di zaman kerajaan maupun penjajahan, kita hidup di alam merdeka dengan segenap fasilitas yang ada tanpa kurang sedikit apapun, sudahkah kita memiliki keinginan seperti mereka?, mulailah kita untuk mencari sebuah jawaban yang jawaban dari pertanyaan tersebut ada pada diri kita.
Kita tidak perlu menyalahkan siapapun dalam hal ini, banyak faktor yang menyebabkan kita tidak memiliki keberanian untuk menjadi seperti pahlawan perempuan terdahulu, faktor-faktor tersebut dimungkinkan sebagai berikut, pertama: karna kita tidak memiliki sense of belonging (rasa memiliki) yang tinggi terhadap diri, keluarga dan tanah kelahiran kita dan bangsa ini. Kedua, pendidikan sebagai media informasi yang kita terima tidak memadai untuk ukuran zaman saat ini, sehingga masih perlu belajar dan belajar (long life education) Ketiga, kita tidak memiliki keinginan sedikitpun (masa bodoh) untuk maju, merubah diri sendiri, keluarga dan tanah kelahiran kita (Gayo Lues). Wajar saja bila kita bergerak dan  berperan hanya sebatas domestik belaka (sumur, dapur dan kasur).
 Tulisan inipula dimaksudkan untuk kembali mengingat eksistensi perempuan dalam dunia politik memberi quota 30% dalam keterlibatan perempuan, ini menunjukkan perempuan telah diberikan kesempatan kembali dalam berkiprah dalam dunia politik yang selama ini langka bagi kaum perempuan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan Gayo mampu bersaing dengan perempuan lainnya dibelahan dunia manapun.
            Berbicara mengenai perempuan, hal pertama yang terlintas dalam benak kita adalah sikap penuh kasih dan bertutur sopan, hal ini jangan sesekali kita mengangap perempuan adalah kaum yang lemah. Kaum perempuan merupakan ciptaan yang unik, pengaruh perempuan dalam kehidupan dapat menghancurkan dan memajukan suatu negeri, tergantung sejauh mana perempuan tersebut dapat memberdayakan dirinya (empowering) dalam kehidupan, baik selaku pribadi, makhluk sosial dan makhluk yang beragama.
            Langkah nyata yang harus kita lakukan selaku perempuan untuk menghindari diskriminasi terhadap haknya sebagai manusia (human right) adalah dengan memperkaya diri dengan kemampuan membaca setiap kondisi yang ada, memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan dan memiliki adab yang tinggi (akhlakul karimah). Dari ketiga alternatif yang ditawarkan penulis merupakan cambukan bagi penulis secara pribadi untuk bisa melakukan hal serupa, karena tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui hanya sekedar mengingatkan, bahwa tanggung jawab kita kedepan sebagai generasi muda amatlah berat.
            Membangun Bargaining Position (nilai tawar) terhadap diri sendiri dengan melakukan yang terbaik untuk bangsa ini adalah hal yang sepatutnya dilakukan, bangsa kita telah diajarkan untuk melihat figur, sosok dan hasil yang nyata terhadap apapun, kita jarang diajarkan untuk melihat proses!, namun hal ini jangan dijadikan sebagai sikap pesimistis bagi kita, masih ada peluang berharga dari kondisi ini yaitu tidak ada salahnya kita melihat figur para perempuan tangguh di Aceh masa lalu sebagai trendsetter (contoh) dalam mengembalikan eksistensi para perempuan Aceh untuk berjuang sesuai dengan zamannya, khususnya bagi para perempuan Gayo Lues. Sudah saatnya kita mengembalikan ruh yang dulu, sudah saatnya kita merivitalisasi peran perempuan sebagai bagaian dari proses pembangunan.
            Semangat hari Kartini ini, hendaknya dijadikan sebagai momen yang tepat untuk introspeksi secara lokal dan nasional, bahwa perempuan adalah tonggak sejarah peradaban terhadap kemajuan dan kemunduran suatu negeri. Di dalam Al-qur’anul Karim sendiri secara jelas telah menggambarkan Putri Balqis sebagai wanita super dalam memimpin kerajaan di zaman nabi Sulaiman, Peran Siti Maryam dalam mendidik dan mengasuh Nabi Isa Alaihissalam sehingga dapat menjadi Nabi, begitu juga dengan Asyiah menentang kezhaliman raja Fir’aun suaminya sendiri. Hal ini menunjukkan perempuan dapat ambil bagian dalam segala bidang peran yang sesuai dengan kesanggupannya. Jadi apa yang masih kita ragukan??? Tidakkah kita pernah membaca, Iqra’ bismirabbikalladzy khalaq???.


[1] Sartika Mayasari adalah staf di Sekretariat Daerah Kabupaten Gayo Lues yang saat ini sedang melanjutkan studi di Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta jurusan Politik Lokal dan Otonomi Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar