MEMAKNAI HARI KARTINI SEBAGAI
INSTROSPEKSI
(SEBUAH SERUAN UNTUK PARA SEBERU GAYO)
OLEH : SARTIKA MAYASARI, SSTP[1]
(Telah diterbitkan di Majalah Lentayon
edisi IV, APRIL/2008)
Membaca
sebuah buku inspiratif yang dikarang oleh ulama kontemporer A’id Al-Qarni
(pengarang Buku La Tahzan) yang berjudul ”Menjadi
Wanita Paling Berbahagia di Dunia”. Agaknya sebuah langkah untuk menebar
inspirasi, Untuk itu penulis ingin berbagi mengenai indahnya setiap kata ,baris,
kalimat dan paragraf dari tulisan beliau dan mencoba menuangkan substansi dari
makna perempuan sesungguhnya dalam tulisan tersebut.
Setiap segmen dalam tulisan beliau
mengetengahkan Spirit Of Life (semangat
kehidupan) khususnya sebagai perempuan untuk selalu optimis dan mensyukuri apa
yang telah menjadi hak dan kewajibannya sebagai perempuan. Setiap mozaik dari
tulisan tersebut mengemukakan keindahan perempuan sebagai wadah untuk bersyukur
dan meningkatkan kemapanan diri guna memberi manfaat (usefull) bagi alam semesta (rahmatan
lil alamin).
Dari
sepenggal substansi tulisan tersebut, dapat dikatakan alangkah bahagianya
menjadi perempuan yang telah diangkat derajatnya. Dapat dibayangkan ketika para
perempuan dulu sebelum datangnya Islam, mengalami diskriminasi yang amat hebat,
kaum perempuan dijadikan sebagai objek malapetaka tanpa diberi sedikitpun
kebebasan untuk berekspresi, tulisan tersebut mengajak para perempuan untuk
memiliki pertahanan yang kuat agar tidak mudah terjebak dalam zaman ”jahiliyah
modern”.
Tulisan Aid Al-qarni telah
menyihir jutaan masyarakat dunia, tulisan yang mengedepankan etika yang tinggi
namun tidak ketinggalan zaman, pemaknaan terhadap Islam yang strategis tanpa
menyudutkan pihak manapun, sungguh luar biasa karya-karya yang ditorehnya.
Hubungannya dengan eksistensi para Perempuan
Aceh pada umumnya saat ini telah mengalami krisis yang berkepanjangan, di Gayo
Lues tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi, mengapa tidak??, bukankah di
Aceh pada zaman kejayaan Sultan Iskandar Muda, kita melihat bagaimana
perempuan-perempuan muncul sebagai panglima perang, Laksamana Malahayati
misalnya.
Perempuan muncul sebagai
regulator, contohnya Putri Kamaliyah (Putroe Phang) beliau adalah istri Sultan
Iskandar Muda yang berhasil membentuk Dewan Perwakilan Kerajaan atau yang
sekarang disebut dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Terakhir kita mengenal Cut Nyak Dhien, tokoh
perempuan kharismatik dari Butong Ateuh ini telah membawa perubahan besar
terhadap wajah Aceh dimata kolonial Belanda karena strategi perang dan wibawa
yang dimilikinya, sungguh menakjubkan.
Tidak ketinggalan di Kabupaten
Gayo Lues, kita memiliki pahlawan perempuan yang mulai kita lupakan, Inen Mayak Tri, merupakan perempuan
tangguh dari desa Pining, dengan semangat membara mengawal pertempuran
menyerang kafir Belanda, sungguh luar biasa semangat yang didengungkannya,
karena kecintaan atas suami tercinta, pembuktian cinta yang mengajawantah, luar
biasa!!!
Kembali kepada kita yang hidup
tidak di zaman kerajaan maupun penjajahan, kita hidup di alam merdeka dengan
segenap fasilitas yang ada tanpa kurang sedikit apapun, sudahkah kita memiliki
keinginan seperti mereka?, mulailah kita untuk mencari sebuah jawaban yang
jawaban dari pertanyaan tersebut ada pada diri kita.
Kita tidak perlu menyalahkan
siapapun dalam hal ini, banyak faktor yang menyebabkan kita tidak memiliki
keberanian untuk menjadi seperti pahlawan perempuan terdahulu, faktor-faktor
tersebut dimungkinkan sebagai berikut, pertama:
karna kita tidak memiliki sense of
belonging (rasa memiliki) yang tinggi terhadap diri, keluarga dan tanah
kelahiran kita dan bangsa ini. Kedua,
pendidikan sebagai media informasi yang kita terima tidak memadai untuk ukuran
zaman saat ini, sehingga masih perlu belajar dan belajar (long life education) Ketiga,
kita tidak memiliki keinginan sedikitpun (masa bodoh) untuk maju, merubah diri sendiri,
keluarga dan tanah kelahiran kita (Gayo Lues). Wajar saja bila kita bergerak
dan berperan hanya sebatas domestik
belaka (sumur, dapur dan kasur).
Tulisan inipula dimaksudkan untuk kembali
mengingat eksistensi perempuan dalam dunia politik memberi quota 30% dalam
keterlibatan perempuan, ini menunjukkan perempuan telah diberikan kesempatan
kembali dalam berkiprah dalam dunia politik yang selama ini langka bagi kaum
perempuan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan Gayo mampu
bersaing dengan perempuan lainnya dibelahan dunia manapun.
Berbicara
mengenai perempuan, hal pertama yang terlintas dalam benak kita adalah sikap
penuh kasih dan bertutur sopan, hal ini jangan sesekali kita mengangap perempuan
adalah kaum yang lemah. Kaum perempuan merupakan ciptaan yang unik, pengaruh
perempuan dalam kehidupan dapat menghancurkan dan memajukan suatu negeri,
tergantung sejauh mana perempuan tersebut dapat memberdayakan dirinya (empowering) dalam kehidupan, baik selaku
pribadi, makhluk sosial dan makhluk yang beragama.
Langkah
nyata yang harus kita lakukan selaku perempuan untuk menghindari diskriminasi
terhadap haknya sebagai manusia (human
right) adalah dengan memperkaya diri dengan kemampuan membaca setiap kondisi
yang ada, memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan dan memiliki adab yang tinggi
(akhlakul karimah). Dari ketiga
alternatif yang ditawarkan penulis merupakan cambukan bagi penulis secara
pribadi untuk bisa melakukan hal serupa, karena tulisan ini tidak bermaksud
untuk menggurui hanya sekedar mengingatkan, bahwa tanggung jawab kita kedepan
sebagai generasi muda amatlah berat.
Membangun
Bargaining Position (nilai tawar)
terhadap diri sendiri dengan melakukan yang terbaik untuk bangsa ini adalah hal
yang sepatutnya dilakukan, bangsa kita telah diajarkan untuk melihat figur,
sosok dan hasil yang nyata terhadap apapun, kita jarang diajarkan untuk melihat
proses!, namun hal ini jangan dijadikan sebagai sikap pesimistis bagi kita,
masih ada peluang berharga dari kondisi ini yaitu tidak ada salahnya kita
melihat figur para perempuan tangguh di Aceh masa lalu sebagai trendsetter (contoh) dalam
mengembalikan eksistensi para perempuan Aceh untuk berjuang sesuai dengan
zamannya, khususnya bagi para perempuan Gayo Lues. Sudah saatnya kita
mengembalikan ruh yang dulu, sudah saatnya kita merivitalisasi peran perempuan
sebagai bagaian dari proses pembangunan.
Semangat
hari Kartini ini, hendaknya dijadikan sebagai momen yang tepat untuk
introspeksi secara lokal dan nasional, bahwa perempuan adalah tonggak sejarah
peradaban terhadap kemajuan dan kemunduran suatu negeri. Di dalam Al-qur’anul
Karim sendiri secara jelas telah menggambarkan Putri Balqis sebagai wanita
super dalam memimpin kerajaan di zaman nabi Sulaiman, Peran Siti Maryam dalam
mendidik dan mengasuh Nabi Isa Alaihissalam
sehingga dapat menjadi Nabi, begitu juga dengan Asyiah menentang kezhaliman
raja Fir’aun suaminya sendiri. Hal ini menunjukkan perempuan dapat ambil bagian
dalam segala bidang peran yang sesuai dengan kesanggupannya. Jadi apa yang
masih kita ragukan??? Tidakkah kita pernah membaca, Iqra’ bismirabbikalladzy khalaq???.
[1] Sartika Mayasari adalah staf di Sekretariat Daerah Kabupaten Gayo
Lues yang saat ini sedang melanjutkan studi di Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta jurusan Politik Lokal dan
Otonomi Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar