Senin, 28 Maret 2016

MENGABDI DI LEMBAH GANJA



MENGABDI DI LEMBAH GANJA
Aku adalah camat di pedalaman Aceh yang sudah 3,3 tahun mengabdi dinegeri penuh sejarah ini, tepatnya Gayo Lues, Gayo, suku pedalaman Aceh yang masih jauh dari hiruk-pikuk kota.
Mengabdi kepada masyarakat seolah mendarah daging bagiku, mungkin karena aku masih belajar. Belajar dari kepolosan mereka, cara mereka menghargai sesama dan riang tawa mereka yang membahana. Agusen merupakan kampung yang paling jauh dari Ibukota Kecamatan yang aku pimpin, jarak tempuh hampir 23 km dari kota. Dengan jalan yang berliku, naik lembah dan turun lembah membuat perut berguncang, namun semuanya terbayarkan karena disamping kiri dan kanan jalan pemandangan seolah menyajikan "Its Heaven Man!" alam yang indah luar biasa.
Agusen menjadi daya tarik sendiri bagiku, selain tempatnya berada dilembah Gunung Leuser, aliran sungai yang melaluinya menjadi kekayaan tersendiri bahwa hal tersebut patut disyukuri sebagai nikmat yang tiada tara. 

penduduk Kampung Agusen terdiri dari 4 Dusun dengan jumlah penduduk 755 jiwa dan 250 Kepala Keluarga. Nama Agusen sndiri diberikan oleh Pemerintahan Belanda karena mereka menginjakkan kaki pertama kali di bulan Agustus 1920. Awalnya Agusen adalah tempat pengasingan masyarakat yang terkena penyakit lepra. namun hal tersebut jauh dari kondisi Kampung Agusen saat ini, masyarakat Kampung Agusen sehat secara fisik dan mental sat ini.
menjadi menarik di Agusen selain tempatnya yang indah, kampung ini selalu menjadi incaran berita karena disepanjang perbukitan yang mengelilinginya tumbuh subur ganja dengan kualitas nomor wahid. Entah mulai kapan tanaman terlarang tersebut subur tumbuh disana.


Masyarakat Kampung Agusen sangat mengenal tentang tanaman yang satu ini, bagaimana tidak, ketika saya melakukan kunjungan ke kampung tersebut tepatnya dilembah malah 27 Ha lahan ganja sedang dimusnahkan di atas bukit. sempat aku bertanya dengan masyarakat sekitar "berapa jam perjalanan ke ladang ganja?" mereka menjawab "3 hari tiga malam Bu" jawab mereka. hal ini seolah menampar aku sebagai camat perempuan, ada rasa malu dan mengharukan yang menyesak dadaku, ternyata masih ada masyarakatku mencari nafkkah dari barang haram tersebut. ini tidak lain karena faktor ekonomi yang kian menggigit. Akhirnya aku berinisiasi dan melakukan self assessment dengan beberapa rekan, Pak Gunmas untuk mencari solusi Agusen sebagai focus dalam kajian kami untuk menghilangkan citra buruknya sebagai Kampung Penghasil Ganja terbesar di Aceh.
beberapa usulan kami mulai dari pendekatan personal masyarakat tentunya melalui pemerintahan kampung setempat, tokoh perempuannya dan juga para pemudanya, awalnya mereka kurang "welcome" jika Kampung mereka akan "diubah". Ganja telah menjadi komoditi unggulan disana. Namun dengan seringnya aku dan Pak Gunmas berkunjung kesana, maka munculah ide untuk menjadikan Agusen sebagai kampung Wisata dan Kampung berbahasa Inggris. Alhamdulillah hal tersebut terwujud seiring berjalannya waktu Selasa , 22 Maret 2016 kemarin Kampung Agusen telah diresmikan menjadi Kampung Wisata dan Kampung Inggris di Kabupaten Gayo Lues. dan Sabtu, 26 Maret 2016 kemarin Agusen ditunjuk sebagai Kampung KB se-Kabupaten Gayo Lues.
tiada yang tak mungkin ketika kita mau berusaha dan memiliki niat yang tulus untuk menjadikan sekeliling kita berarti... ini ceritaku, apa ceritamu?? itu karena aku perempuan

http://www.insetgalus.com/berita?id=Hilangkan_Citra_Buruk_Agusen_Dari_Sarang_Ganja

Kamis, 11 Februari 2016

KEDAULATAN PANGAN SUDAH ADA DI ZAMAN DULU



KEDAULATAN PANGAN SUDAH ADA DI ZAMAN DULU
Oleh: Sartika Mayasari, SSTP,MA
            Melirik sejarah masa silam, Urang  Gayo (baca: Suku Gayo), sudah memulia kehidupan yang permanen setelah meninggalkan kehidupa nomaden. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan pemukiman penduduk pada umumnya tinggal dan menetap di Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan cara hidup dilokasi aliran sungai masyarakat belajar bagaimana memanfaatkan air sebagai sumber kehidupan terutama bercocok tanam dan perikanan.
Aristoteles dalam kitab Mantiq menyatakan bahwa Manusia sebagai ‘ Hayanunnatiq” Manusia adalah hewan yang berfikir.  Mereka hidup mulai memiliki visi dan misi serta tujuan yang jelas untuk melestarikan keturunan dan menjaga agar budaya tetap terjaga.
Masyarakat Gayo dulu pada umumnya belum mengenal banyak profesi, mereka bertani dengan cara mereka sendiri. Koloni masyarakat Gayo yang sudah tidak nomaden akan bertahan hidup melalui bertani, mengolah padi hingga menjadi beras. Secara sosio kultural dalam lingkup kecil masyarakat di zaman dulu telah mengenal swasembada, walaupun istilah swasembada versi mereka pasti berbeda, artinya ketika hasil pertanian tersebut telah mencukupi kebutuhan keluarga, maka hasil panen yang berlebih dapat di jual kepasar (baca: pekan). Kondisi ini yang pada akhirnya membuat masyarakat mengenal istilah perdagangan berskala lokal. Kemudian belakangan muncul toke-toke yang berperan sebagai penampung hasil panen rakyat.
Kegiatan bertani tempo dulu, memiliki sistem gotong royong yang cukup tinggi, kepekaan saling mendukung dalam mempertahankan budaya lokal dapat diacungi jempol, berbeda dengan zaman sekarang ada “upah” jika harus membantu dan mengolah lahan tetangga atau masyarakat sekitar, berikut foto yang penulis peroleh dari Tropen Museum Belanda. Pada tahun 1920-1930 masyarakat Gayo menggantungkan hidupnya melalui gotong-royong bertani.

Masyarakat Gayo terus melakukan perubahan, inovasi dan kreatifitas dalam menjalankan hidup sebagai urang Gayo. Seiring perkembangan zaman masyarakat mulai terinspirasi dengan budaya dan perilaku asing melalui pesatnya hubungan perkawinan lintas budaya. Kebudayaan orang Gayo mengalami alkulturisasi, pencampuran budaya. Dan hususnya cara bercocok tanampun mengalami hal serupa. Cara tradisional di tinggalkan, masyarakat lebih memilih yang praktis dan cepat, revolusi mesin menjadi wahana empuk mengubah cara pandang masyarakat tentang bertani.


Sumber: Tropen Museum, Masyarakat Gayo bercocok tanam dengan menggunakan Kuda, 1948.
Ide kekinian muncul sebagai istilah Kedaulatan pangan merupakan bentuk pengejawantahan terhadap program Nawacita Presiden Joko Widodo. Upaya ini dilakukan akibat kekhawatiran nasional terhadap minimnya masyarakat yang meiliki perhatian tentang stok pangan nasional. Ide ini brilian dan patut di apresiasi. Bagaimana tidak?, jika masyarakat selalu mengantungkan diri terhadap beras import, bukankah ini gejala genosaide selanjutnya?. Masyarakat kita kelaparan dan mati akibat kebodohannya sendiri. Analisa sederhana tentang kemerosotan Identitas Urang  Gayo dalam bercocok tanam, sebagai berikut:
1.     Identitas masyarakat lokal yang berbudaya mulai terkikis seiring perkembangan zaman yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Masyarakat hidup dengan cara serba instan, tidak mau direpotkan dengan pengelolaan runtun, akibatnya masyarakat malas dan manja. Mesin sebagai alat wajib dimiliki untuk bertani. Jika tidak ada mesin pertanian dianggap ketinggalan dan kuno.
2.     Sikap apatis masyarakat mulai terjadi dan hilangnya budaya gotong royong. Hal ini ditunjukkan dengan ‘bejamu nuling” (baca: gotong-royong ketika memanen padi), sudah mulai menurun jika dibandingkan zaman dahulu, meriah dan antusiame masyarakat tinggi.
3.     Sempitnya lahan pertanian. Kondisi ini terjadi dengan pertambahan penduduk, alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk. Hal ini memungkin masyarakat Gayo pada umumnya mengalami hal serupa sehingga perlu strategi pertanian dan pembukaan lahan pertanian baru.
4.     Secara Geografis wilayah Gayo berada didataran tinggi dan kehidupan masyarakat berada di aliran sungai. Hal ini menyebabkan banyak sawah masyarakat dibawa arus sungai khusunya di musim penghujan. Solusi kondisi ini tentunya butuh program normalisasi sungai untuk menunjang kedaulatan pangan masyarakat.
Permasalahan dan tantangan yang penulis sebutkan diatas tentunya dapat menjadi sumbangsih bagi setiap stake holder pemerintahan di tanah Gayo, sehingga budaya bercocok tanam tetap dapat dilestarikan. Seiring dengan perkembanga zaman tentunya filterisasi budaya asing perlu dilakukan melalui penguatan adat budaya serta menjalin persatuan yang lebih solid.

Sumber: Dokumen Pribadi, Nuling di Kampung Agusen Januari 2016.
Mari secara sepakat mewujudkan masyarkat yang mandiri, mandiri dan merdeka secara kehidupan berbudaya, menjaga identitas leluhur dan mandiri secara ekonomi melalui ketahanan pangan yang berdaulat.