KEDAULATAN PANGAN SUDAH
ADA DI ZAMAN DULU
Oleh: Sartika Mayasari, SSTP,MA
Melirik
sejarah masa silam, Urang Gayo (baca:
Suku Gayo), sudah memulia kehidupan yang permanen setelah meninggalkan kehidupa
nomaden. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan pemukiman penduduk pada umumnya
tinggal dan menetap di Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan cara hidup dilokasi
aliran sungai masyarakat belajar bagaimana memanfaatkan air sebagai sumber
kehidupan terutama bercocok tanam dan perikanan.
Aristoteles dalam kitab Mantiq
menyatakan bahwa Manusia sebagai ‘ Hayanunnatiq” Manusia adalah hewan yang
berfikir. Mereka hidup mulai memiliki
visi dan misi serta tujuan yang jelas untuk melestarikan keturunan dan menjaga agar
budaya tetap terjaga.
Masyarakat Gayo dulu pada umumnya
belum mengenal banyak profesi, mereka bertani dengan cara mereka sendiri.
Koloni masyarakat Gayo yang sudah tidak nomaden akan bertahan hidup melalui
bertani, mengolah padi hingga menjadi beras. Secara sosio kultural dalam
lingkup kecil masyarakat di zaman dulu telah mengenal swasembada, walaupun
istilah swasembada versi mereka pasti berbeda, artinya ketika hasil pertanian
tersebut telah mencukupi kebutuhan keluarga, maka hasil panen yang berlebih
dapat di jual kepasar (baca: pekan). Kondisi ini yang pada akhirnya membuat
masyarakat mengenal istilah perdagangan berskala lokal. Kemudian belakangan
muncul toke-toke yang berperan sebagai penampung hasil panen rakyat.
Kegiatan bertani tempo dulu, memiliki
sistem gotong royong yang cukup tinggi, kepekaan saling mendukung dalam
mempertahankan budaya lokal dapat diacungi jempol, berbeda dengan zaman
sekarang ada “upah” jika harus membantu dan mengolah lahan tetangga atau
masyarakat sekitar, berikut foto yang penulis peroleh dari Tropen Museum
Belanda. Pada tahun 1920-1930 masyarakat Gayo menggantungkan hidupnya melalui
gotong-royong bertani.
Masyarakat Gayo terus melakukan
perubahan, inovasi dan kreatifitas dalam menjalankan hidup sebagai urang Gayo. Seiring
perkembangan zaman masyarakat mulai terinspirasi dengan budaya dan perilaku
asing melalui pesatnya hubungan perkawinan lintas budaya. Kebudayaan orang Gayo
mengalami alkulturisasi, pencampuran budaya. Dan hususnya cara bercocok
tanampun mengalami hal serupa. Cara tradisional di tinggalkan, masyarakat lebih
memilih yang praktis dan cepat, revolusi mesin menjadi wahana empuk mengubah
cara pandang masyarakat tentang bertani.
Sumber: Tropen Museum, Masyarakat
Gayo bercocok tanam dengan menggunakan Kuda, 1948.
Ide kekinian muncul sebagai istilah
Kedaulatan pangan merupakan bentuk pengejawantahan terhadap program Nawacita
Presiden Joko Widodo. Upaya ini dilakukan akibat kekhawatiran nasional terhadap
minimnya masyarakat yang meiliki perhatian tentang stok pangan nasional. Ide
ini brilian dan patut di apresiasi. Bagaimana tidak?, jika masyarakat selalu
mengantungkan diri terhadap beras import, bukankah ini gejala genosaide
selanjutnya?. Masyarakat kita kelaparan dan mati akibat kebodohannya sendiri.
Analisa sederhana tentang kemerosotan Identitas Urang Gayo dalam bercocok tanam, sebagai berikut:
1. Identitas masyarakat lokal yang
berbudaya mulai terkikis seiring perkembangan zaman yang lebih mementingkan
hasil ketimbang proses. Masyarakat hidup dengan cara serba instan, tidak mau
direpotkan dengan pengelolaan runtun, akibatnya masyarakat malas dan manja.
Mesin sebagai alat wajib dimiliki untuk bertani. Jika tidak ada mesin pertanian
dianggap ketinggalan dan kuno.
2. Sikap apatis masyarakat mulai terjadi
dan hilangnya budaya gotong royong. Hal ini ditunjukkan dengan ‘bejamu nuling” (baca:
gotong-royong ketika memanen padi), sudah mulai menurun jika dibandingkan zaman
dahulu, meriah dan antusiame masyarakat tinggi.
3. Sempitnya lahan pertanian. Kondisi
ini terjadi dengan pertambahan penduduk, alih fungsi lahan dari lahan pertanian
menjadi pemukiman penduduk. Hal ini memungkin masyarakat Gayo pada umumnya
mengalami hal serupa sehingga perlu strategi pertanian dan pembukaan lahan
pertanian baru.
4. Secara Geografis wilayah Gayo berada
didataran tinggi dan kehidupan masyarakat berada di aliran sungai. Hal ini
menyebabkan banyak sawah masyarakat dibawa arus sungai khusunya di musim
penghujan. Solusi kondisi ini tentunya butuh program normalisasi sungai untuk
menunjang kedaulatan pangan masyarakat.
Permasalahan dan tantangan yang
penulis sebutkan diatas tentunya dapat menjadi sumbangsih bagi setiap stake
holder pemerintahan di tanah Gayo, sehingga budaya bercocok tanam tetap dapat
dilestarikan. Seiring dengan perkembanga zaman tentunya filterisasi budaya
asing perlu dilakukan melalui penguatan adat budaya serta menjalin persatuan
yang lebih solid.
Sumber:
Dokumen Pribadi, Nuling di Kampung Agusen Januari 2016.
Mari secara sepakat mewujudkan
masyarkat yang mandiri, mandiri dan merdeka secara kehidupan berbudaya, menjaga
identitas leluhur dan mandiri secara ekonomi melalui ketahanan pangan yang
berdaulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar