Kamis, 11 Februari 2016

KEDAULATAN PANGAN SUDAH ADA DI ZAMAN DULU



KEDAULATAN PANGAN SUDAH ADA DI ZAMAN DULU
Oleh: Sartika Mayasari, SSTP,MA
            Melirik sejarah masa silam, Urang  Gayo (baca: Suku Gayo), sudah memulia kehidupan yang permanen setelah meninggalkan kehidupa nomaden. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan pemukiman penduduk pada umumnya tinggal dan menetap di Daerah Aliran Sungai (DAS). Dengan cara hidup dilokasi aliran sungai masyarakat belajar bagaimana memanfaatkan air sebagai sumber kehidupan terutama bercocok tanam dan perikanan.
Aristoteles dalam kitab Mantiq menyatakan bahwa Manusia sebagai ‘ Hayanunnatiq” Manusia adalah hewan yang berfikir.  Mereka hidup mulai memiliki visi dan misi serta tujuan yang jelas untuk melestarikan keturunan dan menjaga agar budaya tetap terjaga.
Masyarakat Gayo dulu pada umumnya belum mengenal banyak profesi, mereka bertani dengan cara mereka sendiri. Koloni masyarakat Gayo yang sudah tidak nomaden akan bertahan hidup melalui bertani, mengolah padi hingga menjadi beras. Secara sosio kultural dalam lingkup kecil masyarakat di zaman dulu telah mengenal swasembada, walaupun istilah swasembada versi mereka pasti berbeda, artinya ketika hasil pertanian tersebut telah mencukupi kebutuhan keluarga, maka hasil panen yang berlebih dapat di jual kepasar (baca: pekan). Kondisi ini yang pada akhirnya membuat masyarakat mengenal istilah perdagangan berskala lokal. Kemudian belakangan muncul toke-toke yang berperan sebagai penampung hasil panen rakyat.
Kegiatan bertani tempo dulu, memiliki sistem gotong royong yang cukup tinggi, kepekaan saling mendukung dalam mempertahankan budaya lokal dapat diacungi jempol, berbeda dengan zaman sekarang ada “upah” jika harus membantu dan mengolah lahan tetangga atau masyarakat sekitar, berikut foto yang penulis peroleh dari Tropen Museum Belanda. Pada tahun 1920-1930 masyarakat Gayo menggantungkan hidupnya melalui gotong-royong bertani.

Masyarakat Gayo terus melakukan perubahan, inovasi dan kreatifitas dalam menjalankan hidup sebagai urang Gayo. Seiring perkembangan zaman masyarakat mulai terinspirasi dengan budaya dan perilaku asing melalui pesatnya hubungan perkawinan lintas budaya. Kebudayaan orang Gayo mengalami alkulturisasi, pencampuran budaya. Dan hususnya cara bercocok tanampun mengalami hal serupa. Cara tradisional di tinggalkan, masyarakat lebih memilih yang praktis dan cepat, revolusi mesin menjadi wahana empuk mengubah cara pandang masyarakat tentang bertani.


Sumber: Tropen Museum, Masyarakat Gayo bercocok tanam dengan menggunakan Kuda, 1948.
Ide kekinian muncul sebagai istilah Kedaulatan pangan merupakan bentuk pengejawantahan terhadap program Nawacita Presiden Joko Widodo. Upaya ini dilakukan akibat kekhawatiran nasional terhadap minimnya masyarakat yang meiliki perhatian tentang stok pangan nasional. Ide ini brilian dan patut di apresiasi. Bagaimana tidak?, jika masyarakat selalu mengantungkan diri terhadap beras import, bukankah ini gejala genosaide selanjutnya?. Masyarakat kita kelaparan dan mati akibat kebodohannya sendiri. Analisa sederhana tentang kemerosotan Identitas Urang  Gayo dalam bercocok tanam, sebagai berikut:
1.     Identitas masyarakat lokal yang berbudaya mulai terkikis seiring perkembangan zaman yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Masyarakat hidup dengan cara serba instan, tidak mau direpotkan dengan pengelolaan runtun, akibatnya masyarakat malas dan manja. Mesin sebagai alat wajib dimiliki untuk bertani. Jika tidak ada mesin pertanian dianggap ketinggalan dan kuno.
2.     Sikap apatis masyarakat mulai terjadi dan hilangnya budaya gotong royong. Hal ini ditunjukkan dengan ‘bejamu nuling” (baca: gotong-royong ketika memanen padi), sudah mulai menurun jika dibandingkan zaman dahulu, meriah dan antusiame masyarakat tinggi.
3.     Sempitnya lahan pertanian. Kondisi ini terjadi dengan pertambahan penduduk, alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk. Hal ini memungkin masyarakat Gayo pada umumnya mengalami hal serupa sehingga perlu strategi pertanian dan pembukaan lahan pertanian baru.
4.     Secara Geografis wilayah Gayo berada didataran tinggi dan kehidupan masyarakat berada di aliran sungai. Hal ini menyebabkan banyak sawah masyarakat dibawa arus sungai khusunya di musim penghujan. Solusi kondisi ini tentunya butuh program normalisasi sungai untuk menunjang kedaulatan pangan masyarakat.
Permasalahan dan tantangan yang penulis sebutkan diatas tentunya dapat menjadi sumbangsih bagi setiap stake holder pemerintahan di tanah Gayo, sehingga budaya bercocok tanam tetap dapat dilestarikan. Seiring dengan perkembanga zaman tentunya filterisasi budaya asing perlu dilakukan melalui penguatan adat budaya serta menjalin persatuan yang lebih solid.

Sumber: Dokumen Pribadi, Nuling di Kampung Agusen Januari 2016.
Mari secara sepakat mewujudkan masyarkat yang mandiri, mandiri dan merdeka secara kehidupan berbudaya, menjaga identitas leluhur dan mandiri secara ekonomi melalui ketahanan pangan yang berdaulat.