Sabtu, 16 Januari 2016

LOCAL WISDOM, SENJATA AGENTS OF CHANGE UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN



  LOCAL WISDOM, SENJATA AGENTS OF CHANGE UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN
OLEH:
SARTIKA MAYASARI, SSTP[1]

          All politics is local, demikian ungkapan seorang pakar politik mengenai dimensi lokal yang merupakan cikal bakal munculnya pergulatan politik dalam kehidupan masyarakat global. Dimensi lokal dewasa ini menjadi core focus dalam setiap pembicaraan, baik oleh para ilmuwan pemerintahan maupun politik. Hal tersebut tentunya memiliki alasan yang sangat kongkrit, dimana lokal sebagai identitas tempat manusia untuk pertama kali mengenal organisasi hingga meng-global seperti saat ini.
          Ditilik dari dinamika sosial masyarakat dan perubahan sistem pemerintahan di negara-negara yang pernah mengalami keterpurukan, semua awal kemunculan pergerakan perubahan dimulai dari tingkat lokal. Indonesia misalnya, pasca orde baru pada tahun 1998. Daerah-daerah yang selama pemerintahan rezim orde tersebut tidak terdengar gaung suara kerakyatannya, mulai menampakkan aksi dan reaksi yang mengharuskan pemerintah ditingkat nasional untuk berpikir keras menyelesaikan permasalahan masing-masing daerah tersebut. Aceh, Papua, Ambon dan beberapa daerah lainnya bergejolak seiring dilepaskan refresif otoritarisme. Kondisi tersebut yang akhirnya merubah paradigma sistem  pemerintah yang kita kenal dengan desentralisasi, otonomi daerah.
          Ketika ruang kebebasan bereaksi diberikan bagi daerah (local) secara totalitas, menambah keunikan karakteristik negara, serta dapat meminimalisir gerak pemerintah pusat untuk memanage urusan masyarakat lokal itu sendiri. Negara tidak lagi secara maksimalis terlibat dalam urusan yang sifatnya lokal. Disinilah dituntut peran pemerintah lokal agar bersikap mengedepankan pencitraan terhadap kearifan lokal (local wisdom).
          Local wisdom diidentikan sebagai keunikan karakteristik lokal yang membutuhkan perhatian semua aktor pemerintah dan politik dengan tidak mengindahkan prinsip serta tradisi leluhur dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dinamika local wisdom ditingkat lokal mulai berubah seiring pesatnya pluralisme masyarakat. Jika local wisdom luput dari perhatian para elite lokal, eksistensi lokal dapat menjadi momok euphoria yang tidak lagi ditemukan pada zaman berikutnya. Keseimbangan antara sikap nasionalis, lokalis dan agamis menjadi karakter yang mutlak dimiliki oleh agents of change untuk melakukan perubahan ditingkat lokal. Alkumulasi dari sikap tersebut pada akhirnya dapat menjadi pencitraan politik nasional dan global.
Program one village one product di Jepang merupakan salah satu contoh aktualisasi dari pencitraan local wisdom dibidang ekonomi dan agrikultur. Hambatan geografis tidak menjadi penghalang bagi Negara yang pernah menjajah Indonesia tersebut untuk kalah bersaing dengan Negara yang memiliki sumber daya alam dan letak geografis yang strategis. Ini semua berangkat dari pencitraan local wisdom masyarkat yang begitu kuat, akhirnya menjadi penguat identitas bangsa Jepang. 
Indonesia memiliki potensi alam yang menakjubkan, tidak ada celah untuk mengatakan Indonesia tidak bisa untuk melakukan perubahan. Tidak hanya di bidang ekonomi seperti contoh Jepang yang dipaparkan di atas. Segala bidang yang menyangkut kebutuhan kehidupan masyarakat dapat dicapai kemandiriannya, tentunya dengan memanfaatkan kearifan lokal yang telah ada. Sehingga dengan demikian competity advantage akan terjadi dengan sendirinya. Hal ini senada dengan yang diungkap oleh Marwah Daud Ibrahim bahwa “sukses bangsa merupakan alkumulasi dari sukses individu”.
Istilah Agents Of Change diartikan sebagai seseorang yang melakukan perubahan, melakukan tindakan pembenaran terhadap penyimpangan sistem, bergerak menuju pembangunan yang berperadaban, beretika, agamis, dinamis,visioner juga realistis dalam bertindak. Bila dihubungkan dengan kebijakan lokal (local wisdom), disinilah proses otonomi secara tidak langsung terjadi. Khususnya bagi pribadi yang memiliki kepekaan tinggi terhadap kecintaan  terhadap daerah yang telah membesarkannya, maka muncul pula istilah Think Globally and Act Locally (seseorang yang memiliki cara berpikir universal dan bertindak sesuai kondisi daerahnya/kedaerahan).
Competitive Advantage bagi seorang Agent Of Change merupakan gizi sekaligus energi yang senantiasa membuatnya survive dari segala bentuk perubahan, ditambah dengan positive thingking yang merupakan nutrisi bagi jiwa dan kepribadian, agar senantiasa merasa didukung oleh lingkungannya.
Bersaing dalam tindakan positif merupakan ajaran bagi penganut agama manapun, dalam ajaran Islam, Al-qur’an telah dengan jelas menuturkan bagi setiap anak adam dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebajikan (Fastabiqul khairat).
Selanjutnya menjadi Agent Of Change bukan saja seruan agama, namun panggilan jiwa sebagai khalifah di muka bumi ini yang pada akhirnya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan tuhan. Sehingga seorang Agent Of Change dituntut memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap apa yang telah diamanahkan baginya. Yaitu pertanggungjawaban sebagai makhluk bertuhan dan makhluk sosial (Hablumminallah wa Hablumminannas).
Menjadi Agent Of Change kiranya menimbulkan rasa optimistis yang amat kuat untuk membangun negeri ini. Ditambah dengan keunikan lokal yang mendukung pencapaian tujuan perubahan. Sehingga besar pengharapan kita bersama semoga Indonesia menjadi negeri yang diberkahi sebagai negeri yang pernah diabadikan dalam kitab suci umat Islam. Negeri yang Balldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghafuur, amin…  
Yogyakarta, 29 Juni 2009
sartika_mayasari@yahoo.com





         
         


[1] Penulis merupakan  Purna Praja Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Angkatan XV. Saat ini penulis tengah menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, program studi Politik Lokal dan Otonomi daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar