LOCAL WISDOM, SENJATA AGENTS OF CHANGE UNTUK MELAKUKAN
PERUBAHAN
OLEH:
SARTIKA MAYASARI, SSTP[1]
All
politics is local, demikian ungkapan seorang pakar politik mengenai dimensi
lokal yang merupakan cikal bakal munculnya pergulatan politik dalam kehidupan
masyarakat global. Dimensi lokal dewasa ini menjadi core focus dalam
setiap pembicaraan, baik oleh para ilmuwan pemerintahan maupun politik. Hal
tersebut tentunya memiliki alasan yang sangat kongkrit, dimana lokal sebagai
identitas tempat manusia untuk pertama kali mengenal organisasi hingga meng-global
seperti saat ini.
Ditilik
dari dinamika sosial masyarakat dan perubahan sistem pemerintahan di
negara-negara yang pernah mengalami keterpurukan, semua awal kemunculan
pergerakan perubahan dimulai dari tingkat lokal. Indonesia misalnya, pasca orde
baru pada tahun 1998. Daerah-daerah yang selama pemerintahan rezim orde
tersebut tidak terdengar gaung suara kerakyatannya, mulai menampakkan aksi dan
reaksi yang mengharuskan pemerintah ditingkat nasional untuk berpikir keras
menyelesaikan permasalahan masing-masing daerah tersebut. Aceh, Papua, Ambon
dan beberapa daerah lainnya bergejolak seiring dilepaskan refresif
otoritarisme. Kondisi tersebut yang akhirnya merubah paradigma sistem pemerintah yang kita kenal dengan
desentralisasi, otonomi daerah.
Ketika
ruang kebebasan bereaksi diberikan bagi daerah (local) secara totalitas,
menambah keunikan karakteristik negara, serta dapat meminimalisir gerak
pemerintah pusat untuk memanage urusan masyarakat lokal itu sendiri.
Negara tidak lagi secara maksimalis terlibat dalam urusan yang sifatnya lokal.
Disinilah dituntut peran pemerintah lokal agar bersikap mengedepankan
pencitraan terhadap kearifan lokal (local wisdom).
Local
wisdom diidentikan sebagai keunikan karakteristik lokal yang membutuhkan perhatian
semua aktor pemerintah dan politik dengan tidak mengindahkan prinsip serta
tradisi leluhur dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dinamika local wisdom
ditingkat lokal mulai berubah seiring pesatnya pluralisme masyarakat. Jika
local wisdom luput dari perhatian para elite lokal, eksistensi lokal dapat
menjadi momok euphoria yang tidak lagi ditemukan pada zaman berikutnya.
Keseimbangan antara sikap nasionalis, lokalis dan agamis menjadi karakter yang
mutlak dimiliki oleh agents of change untuk melakukan perubahan
ditingkat lokal. Alkumulasi dari sikap tersebut pada akhirnya dapat menjadi
pencitraan politik nasional dan global.
Program one village one
product di Jepang merupakan salah satu contoh aktualisasi dari pencitraan local
wisdom dibidang ekonomi dan agrikultur. Hambatan geografis tidak menjadi
penghalang bagi Negara yang pernah menjajah Indonesia tersebut untuk kalah
bersaing dengan Negara yang memiliki sumber daya alam dan letak geografis yang
strategis. Ini semua berangkat dari pencitraan local wisdom masyarkat
yang begitu kuat, akhirnya menjadi penguat identitas bangsa Jepang.
Indonesia memiliki potensi
alam yang menakjubkan, tidak ada celah untuk mengatakan Indonesia tidak bisa
untuk melakukan perubahan. Tidak hanya di bidang ekonomi seperti contoh Jepang
yang dipaparkan di atas. Segala bidang yang menyangkut kebutuhan kehidupan
masyarakat dapat dicapai kemandiriannya, tentunya dengan memanfaatkan kearifan
lokal yang telah ada. Sehingga dengan demikian competity advantage akan
terjadi dengan sendirinya. Hal ini senada dengan yang diungkap oleh Marwah Daud
Ibrahim bahwa “sukses bangsa merupakan alkumulasi dari sukses individu”.
Istilah
Agents Of Change diartikan sebagai seseorang yang melakukan perubahan,
melakukan tindakan pembenaran terhadap penyimpangan sistem, bergerak menuju
pembangunan yang berperadaban, beretika, agamis, dinamis,visioner juga
realistis dalam bertindak. Bila dihubungkan dengan kebijakan lokal (local
wisdom), disinilah proses otonomi secara tidak langsung terjadi. Khususnya
bagi pribadi yang memiliki kepekaan tinggi terhadap kecintaan terhadap daerah yang telah membesarkannya,
maka muncul pula istilah Think Globally and Act Locally (seseorang yang
memiliki cara berpikir universal dan bertindak sesuai kondisi
daerahnya/kedaerahan).
Competitive Advantage
bagi seorang Agent Of Change merupakan gizi sekaligus energi yang
senantiasa membuatnya survive dari segala bentuk perubahan, ditambah
dengan positive thingking yang merupakan nutrisi bagi jiwa dan
kepribadian, agar senantiasa merasa didukung oleh lingkungannya.
Bersaing dalam tindakan positif merupakan ajaran
bagi penganut agama manapun, dalam ajaran Islam, Al-qur’an telah dengan jelas
menuturkan bagi setiap anak adam dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam
kebajikan (Fastabiqul khairat).
Selanjutnya menjadi Agent Of Change bukan
saja seruan agama, namun panggilan jiwa sebagai khalifah di muka bumi
ini yang pada akhirnya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan tuhan.
Sehingga seorang Agent Of Change dituntut memiliki rasa tanggungjawab
yang tinggi terhadap apa yang telah diamanahkan baginya. Yaitu pertanggungjawaban
sebagai makhluk bertuhan dan makhluk sosial (Hablumminallah wa
Hablumminannas).
Menjadi Agent Of Change kiranya menimbulkan rasa
optimistis yang amat kuat untuk membangun negeri ini. Ditambah dengan keunikan
lokal yang mendukung pencapaian tujuan perubahan. Sehingga besar pengharapan
kita bersama semoga Indonesia menjadi negeri yang diberkahi sebagai negeri yang
pernah diabadikan dalam kitab suci umat Islam. Negeri yang Balldatun
Toyyibatun Wa Rabbun Ghafuur, amin…
Yogyakarta, 29 Juni 2009
sartika_mayasari@yahoo.com
[1] Penulis
merupakan Purna Praja Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Angkatan XV. Saat ini penulis tengah
menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
program studi Politik Lokal dan Otonomi daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar