BELAJAR
DARI TSUNAMI JEPANG
Oleh: Sartika Mayasari S.STP,M.A
Tragis dan mencengangkan, demikian hal yang
dapat kita ucapkan mengenai kondisi Tsunami di Jepang yang terjadi pada 11
Maret 2011 silam. Kedahsyatan tsunami Jepang
seolah memutar kembali memori lama kita akan
dahsyatnya mega tsunami yang menghantam pesisir tanah rencong.
Sejarah telah mencatat, dahsyatnya Tsunami Aceh
24 Desember 2004 silam, mengajarkan kita banyak hal, demikian juga terhadap
tsunami Jepang yang mengajarkan kita untuk selalu ingat akan kekuasaan sang
pemilik Alam Semesta ini (Rabbul Alamin), bahwa segalanya dapat terjadi
diluar perkiraan manusia.
Jepang yang dikenal sebagai negeri matahari
terbit tersebut memiliki teknologi yang begitu canggih, karena wilayah Jepang
sering dilanda gempa dan tsunami, Jepang memiliki sistem peringatan dini (early
warning system) tsunami dan gempa yang handal. Namun tanpa perhitungan orang
Jepang sendiri, masih ada juga korban akibat tsunami tersebut yang mencapai 1.000
korban jiwa lebih dan ratusan lainnya hilang. Artinya kemampuan manusia bukan
apa-apanya dibanding dengan kekuasaan Allah SWT.
Tsunami Aceh dan Jepang memiliki perbedaan
dan persamaan. jika ditilik dari persamaan kondisi tsunami tersebut sama-sama
merupakan mega bencana yang mencengangkan seantero planet bumi ini. Karena
sebelum terjadinya tsunami, Aceh dan Jepang diguncang gempa yang amat dahsyat.
Selain itu pula gempa di Aceh
dan Jepang diperkirakan terjadi karena proses subduksi, yakni benturan antara
lempeng benua dengan lempeng samudra. Subduksi ini kemudian memicu gempa
berkekuatan besar dan mematikan.
Demikian halnya dengan perbedaan kedua
bencana tersebut, bahwa:
a. Ketinggian gelombang di Aceh mencapai 14-32 meter. Sedangkan tinggi
gelombang tsunami di Prefektur Miyagi dan sekitarnya ditaksir 6-14 meter.
b. Dalam hal korban tewas jumlah korban tewas di Jepang, meskipun
terus didata, tidak sebanyak korban tewas di Aceh. yang meninggal sekitar
128.000 orang, sedangkan di Jepang sekitar 1.000 lebih. Ini karena early
warning system di Jepang yang sudah baik dan antisipasi yang bagus.
c. Jepang memang merasa daerahnya sering gempa dan ada ancaman
tsunami, maka mereka membuat early warning system yang baik. Mereka juga
memasang ocean bottom seismograph. Di Aceh karena wilayah ini merupakan
daerah yang selama ini jauh dari ancaman bencana maka system peringatan ini
ketika itu tidak begitu diprioritaskan untuk digunakan.
d. Di Jepang, ada semacam 'pintu-pintu' penghalang air agar tsunami
tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. 'Pintu' terluar adalah green
belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami,
jalan dan lahan pertanian. Setelah itu, baru ada kawasan perumahan warga.
Sedangkan di Aceh hal tersebut tidak di antisipasi karena kawasan Aceh bukan
daerah yang awalnya rawan tsunami. (Sumber: nampak-tilas.blogspot.com)
Dilihat dari persamaan dan perbedaan antara
tsunami Aceh dan Jepang mengandung banyak hikmah dan ibrah bagi kita. Bahwa,
bencana bisa saja diantisipasi namun kekuasaan sang pencipta jauh lebih unggul
dari teknologi yang dirancang manusia.Bukankah setiap bencana mengandung hikmah
dan ibrah didalamnya?
Satu
hal yang tidak bisa kita lepaskan pasca bencana adalah dampak yang terjadi
setelah semuanya berakhir. Di Aceh, dampak dari tsunami 7 tahun silam membawa
perubahan mendasar bagi kehidupan masyarakat Aceh, baik dari tatanan kehidupan
sosial, politik dan gaya hidup (life style).
berbeda
halnya melihat kondisi di Jepang saat ini, dampak tsunami membawa permasalahan
baru bagi keamanan jiwa masyarakat Jepang. Nuklir yang selama ini menjadi
kebanggaan teknologi masyarakat dunia berubah menjadi malapetaka bagi warga Jepang.
Akibat bencana tersebut reaktor pendingin nuklir Jepang rusak yang akhirnya
membuat resah warga Jepang karena takut terkena radiasi dan meledak seperti
“legenda Chernobyl” 25 tahun silam.
Melalui
bencana ini sedikitnya kita bisa belajar dari Tsunami Jepang bahwa kekuasaan
mutlak ada pada kekuasaan sang pencipta. Demikian halnya bisa merubah persepsi
sebagian besar masyarakat dunia yang mengimani tekhnologi sebagai tuhannya
dapat kembali kejalan fitrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar