Sabtu, 16 Januari 2016

BELAJAR DARI TSUNAMI JEPANG



BELAJAR  DARI TSUNAMI JEPANG
Oleh: Sartika Mayasari S.STP,M.A
         
Tragis dan mencengangkan, demikian hal yang dapat kita ucapkan mengenai kondisi Tsunami di Jepang yang terjadi pada 11 Maret 2011 silam.  Kedahsyatan tsunami Jepang  seolah memutar kembali memori lama kita akan dahsyatnya mega tsunami yang menghantam pesisir tanah rencong.
Sejarah telah mencatat, dahsyatnya Tsunami Aceh 24 Desember 2004 silam, mengajarkan kita banyak hal, demikian juga terhadap tsunami Jepang yang mengajarkan kita untuk selalu ingat akan kekuasaan sang pemilik Alam Semesta ini (Rabbul Alamin), bahwa segalanya dapat terjadi diluar perkiraan manusia.
Jepang yang dikenal sebagai negeri matahari terbit tersebut memiliki teknologi yang begitu canggih, karena wilayah Jepang sering dilanda gempa dan tsunami, Jepang memiliki sistem peringatan dini (early warning system) tsunami dan gempa yang handal. Namun tanpa perhitungan orang Jepang sendiri, masih ada juga korban akibat tsunami tersebut yang mencapai 1.000 korban jiwa lebih dan ratusan lainnya hilang. Artinya kemampuan manusia bukan apa-apanya dibanding dengan kekuasaan Allah SWT.
Tsunami Aceh dan Jepang memiliki perbedaan dan persamaan. jika ditilik dari persamaan kondisi tsunami tersebut sama-sama merupakan mega bencana yang mencengangkan seantero planet bumi ini. Karena sebelum terjadinya tsunami, Aceh dan Jepang diguncang gempa yang amat dahsyat. Selain itu pula gempa di Aceh dan Jepang diperkirakan terjadi karena proses subduksi, yakni benturan antara lempeng benua dengan lempeng samudra. Subduksi ini kemudian memicu gempa berkekuatan besar dan mematikan.
Demikian halnya dengan perbedaan kedua bencana tersebut, bahwa:
a.     Ketinggian gelombang di Aceh mencapai 14-32 meter. Sedangkan tinggi gelombang tsunami di Prefektur Miyagi dan sekitarnya ditaksir 6-14 meter.
b.     Dalam hal korban tewas jumlah korban tewas di Jepang, meskipun terus didata, tidak sebanyak korban tewas di Aceh. yang meninggal sekitar 128.000 orang, sedangkan di Jepang sekitar 1.000 lebih. Ini karena early warning system di Jepang yang sudah baik dan antisipasi yang bagus.
c.      Jepang memang merasa daerahnya sering gempa dan ada ancaman tsunami, maka mereka membuat early warning system yang baik. Mereka juga memasang ocean bottom seismograph. Di Aceh karena wilayah ini merupakan daerah yang selama ini jauh dari ancaman bencana maka system peringatan ini ketika itu tidak begitu diprioritaskan untuk digunakan.
d.     Di Jepang, ada semacam 'pintu-pintu' penghalang air agar tsunami tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. 'Pintu' terluar adalah green belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami, jalan dan lahan pertanian. Setelah itu, baru ada kawasan perumahan warga. Sedangkan di Aceh hal tersebut tidak di antisipasi karena kawasan Aceh bukan daerah yang awalnya rawan tsunami. (Sumber: nampak-tilas.blogspot.com)
Dilihat dari persamaan dan perbedaan antara tsunami Aceh dan Jepang mengandung banyak hikmah dan ibrah bagi kita. Bahwa, bencana bisa saja diantisipasi namun kekuasaan sang pencipta jauh lebih unggul dari teknologi yang dirancang manusia.Bukankah setiap bencana mengandung hikmah dan ibrah didalamnya?
          Satu hal yang tidak bisa kita lepaskan pasca bencana adalah dampak yang terjadi setelah semuanya berakhir. Di Aceh, dampak dari tsunami 7 tahun silam membawa perubahan mendasar bagi kehidupan masyarakat Aceh, baik dari tatanan kehidupan sosial, politik dan gaya hidup (life style).
          berbeda halnya melihat kondisi di Jepang saat ini, dampak tsunami membawa permasalahan baru bagi keamanan jiwa masyarakat Jepang. Nuklir yang selama ini menjadi kebanggaan teknologi masyarakat dunia berubah menjadi malapetaka bagi warga Jepang. Akibat bencana tersebut reaktor pendingin nuklir Jepang rusak yang akhirnya membuat resah warga Jepang karena takut terkena radiasi dan meledak seperti “legenda Chernobyl” 25 tahun silam.
          Melalui bencana ini sedikitnya kita bisa belajar dari Tsunami Jepang bahwa kekuasaan mutlak ada pada kekuasaan sang pencipta. Demikian halnya bisa merubah persepsi sebagian besar masyarakat dunia yang mengimani tekhnologi sebagai tuhannya dapat kembali kejalan fitrah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar