Sabtu, 16 Januari 2016

TRIBUTE TO “ILAH GUNYAK”



TRIBUTE TO “ILAH GUNYAK”
Oleh: Sartika Mayasari Awaluddin
                Sosok renta, khas dengan kerudung songkok, baju ala kebaya motif bunga serta gendongan yang membumbung di punggungnya, senantiasa menghiasi pagi seputaran Gunyak hingga kota Blangkejeren.
Tertatih-tatih berjalan tanpa menggunakan kendaraan, seolah kakinya telah kebal dengan panasnya aspal Gunyak-Kota Blangkejeren. Sosok yang senantiasa mengajarkan kesederhanaan, legowo dan senantiasa tegar menghadapi tantangan hidup, dialah wonder woman “Ilah Gunyak”.
Agaknya jarang diantara kita yang tidak mengenal Ilah Gunyak, sosok perempuan yang berasal dari Kampung Gunyak, puluhan tahun tak pernah absen memikul kerasnya hidup dibawah aras kemiskinan. Berperawakan mungil dan berbicara agak kurang jelas ini, telah berhasil memberikan berjuta inspirasi dan pelajaran hidup tentang sebuah keikhlasan untuk menerima kehidupan sebagai pengabdian mempertahankan hidup namun tidak meremehkan harga diri.
Menarik untuk menilik kepribadian seorang Ilah Gunyak, walaupun beliau bukan siapa-siapa dimata sebagian kita, namun beliau adalah “sesuatu” dalam kehidupan sebagian kita. Ilah, demikian sapaan yang telah melekat sejak puluhan tahun lalu yang penulis sendiri tidak mengetahui siapa nama lengkap seorang Ilah, namun nama Ilah Gunyak sangat populer bagi sebagian kita, kepopulerannya lebih disebabkan karena karakter yang dimilikinya, sosok yang bersahaja namun tidak meninggalkan sisi seorang perempuan Gayo Lues pada umumnya.
Beberapa pelajaran hidup yang dapat kita teladani dari seorang Ilah Gunyak nampaknya tidak pernah habis bila dilukiskan dalam  tulisan ini, diantara pelajaran hidup yang telah diajarkan seorang Ilah Gunyak, kiranya dapat menjadikan kita pribadi yang dapat menghargai kehidupan sebagai pengabdian dan kerja keras. Mulai dari sikap ikhlas, memiliki keinginan keras untuk terus meretas asa agar tidak pupus.
Menarik dari seorang Ilah Gunyak adalah ketika seseorang memberikan sedekah atau bantuan uang ala kadarnya, beliau tidak serta merta menerima sedekah tersebut tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari si pemilik uang, beliau mencoba meyakinkan apakah si pemberi sedekah ikhlas memberikan sedekah kepadanya, atau Ilah Gunyak sering menawarkan barang dagangannya dengan maksud “barter”, artinya ada uang ada barang, anda memberi uang saya beri barang, agaknya demikian maksud seorang Ilah yang tidak mau hidup dengan merendahkan harga dirinya.
Membawa beban dipunggungnya sering membuat perempuan renta ini tampak begitu kelelahan, ternyata gendongan yang ada dipunggung Ilah tidak lain adalah barang dagangan yang mungkin bagi sebagian kita bukan apa-apa, barang dagangan yang dibawa Ilah dalam bahasa Gayo disebut dengan tawar matah (rempah-rempah alam yang terdiri dari pisang muda, pucuk menet, pucuk baro dll).
Barang dagangan tersebut dibawa ke pasar untuk dijual, namun sedikit sekali dari kita yang ber-empati untuk hanya sedikit saja menyapa atau sekedar “iseng” membeli barang dagangan tersebut. Akhirnya Ilahpun kembali pulang ke Gunyak membawa hasil barang dagangannya yang sering tidak laku. Penghasilan Ilah bukan semata-mata dari hasil penjualan barang dagangannya, namun ternyata masih banyak orang yang ber-empati dan dengan suka rela memberi Ilah uang atau sedekah ala kadarnya. Lagi-lagi Ilah tidak serta merta menerima uang itu tanpa terlebih dahulu meminta keikhlasan orang yang memberinya uang.
Ilah, masih saja tidak mau menerima kehidupan secara gratis, “Ilah” walaupun tidak berarti bagi sebagian kita namun sikapnya dalam memandang hidup patut menjadi tauladan bagi banyak kita.
Namun, Saat ini kita tidak lagi bisa melihat perempuan renta itu berjalan didepan rumah atau sepanjang jalan Gunyak-Kota Blangkejeren, perempuan yang berjalan tanpa lelah dengan membawa segudang harapan untuk terus bertahan hidup. Saat ini kita tidak lagi dapat bertatap mata atau hanya sekedar menyapa sambil memberinya harapan dan  saat ini kita tidak lagi dapat menjadikannya ladang amal untuk berbagi.
 Ketika tulisan ini kita baca bersama, Ilah telah tiada, Ilah telah terbaring lemah tanpa daya dan nyawa setelah kepergiannya sebulan silam di usia senja yang penuh tauladan seorang perempuan baja dari Kampung Gunyak. Semoga masih banyah Ilah-Ilah lainnya diluar sana dengan semangat yang sama.
 Terima kasih Ilah, walaupun engkau bukan insipirator bagi seiisi dunia, namun engkau adalah guru bagi kehidupan kami. And the last,  just wanna say, Tribute to Ilah Gunyak.
(Ba’da Fajar Kota Blangkejeren, Januari  2012, kupersembahkan tulisan ini buat terkasih Ilah Gunyak, semoga inspirasi ini menjadi amal jariah bagimu, amien…)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar