TRIBUTE
TO “ILAH GUNYAK”
Oleh: Sartika
Mayasari Awaluddin
Sosok renta, khas dengan kerudung songkok, baju ala kebaya motif bunga
serta gendongan yang membumbung di punggungnya, senantiasa menghiasi pagi
seputaran Gunyak hingga kota Blangkejeren.
Tertatih-tatih berjalan tanpa menggunakan kendaraan,
seolah kakinya telah kebal dengan panasnya aspal Gunyak-Kota Blangkejeren.
Sosok yang senantiasa mengajarkan kesederhanaan, legowo dan senantiasa
tegar menghadapi tantangan hidup, dialah wonder woman “Ilah Gunyak”.
Agaknya jarang diantara kita yang tidak mengenal Ilah
Gunyak, sosok perempuan yang berasal dari Kampung Gunyak, puluhan tahun tak
pernah absen memikul kerasnya hidup dibawah aras kemiskinan. Berperawakan
mungil dan berbicara agak kurang jelas ini, telah berhasil memberikan berjuta
inspirasi dan pelajaran hidup tentang sebuah keikhlasan untuk menerima
kehidupan sebagai pengabdian mempertahankan hidup namun tidak meremehkan harga
diri.
Menarik untuk menilik kepribadian seorang Ilah Gunyak,
walaupun beliau bukan siapa-siapa dimata sebagian kita, namun beliau adalah
“sesuatu” dalam kehidupan sebagian kita. Ilah, demikian sapaan yang telah
melekat sejak puluhan tahun lalu yang penulis sendiri tidak mengetahui siapa
nama lengkap seorang Ilah, namun nama Ilah Gunyak sangat populer bagi sebagian
kita, kepopulerannya lebih disebabkan karena karakter yang dimilikinya, sosok
yang bersahaja namun tidak meninggalkan sisi seorang perempuan Gayo Lues pada
umumnya.
Beberapa pelajaran hidup yang dapat kita teladani dari
seorang Ilah Gunyak nampaknya tidak pernah habis bila dilukiskan dalam tulisan ini, diantara pelajaran hidup yang telah
diajarkan seorang Ilah Gunyak, kiranya dapat menjadikan kita pribadi yang dapat
menghargai kehidupan sebagai pengabdian dan kerja keras. Mulai dari sikap
ikhlas, memiliki keinginan keras untuk terus meretas asa agar tidak pupus.
Menarik dari seorang Ilah Gunyak adalah ketika
seseorang memberikan sedekah atau bantuan uang ala kadarnya, beliau tidak serta
merta menerima sedekah tersebut tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari
si pemilik uang, beliau mencoba meyakinkan apakah si pemberi sedekah ikhlas
memberikan sedekah kepadanya, atau Ilah Gunyak sering menawarkan barang
dagangannya dengan maksud “barter”, artinya ada uang ada barang, anda memberi
uang saya beri barang, agaknya demikian maksud seorang Ilah yang tidak mau
hidup dengan merendahkan harga dirinya.
Membawa beban dipunggungnya sering membuat perempuan
renta ini tampak begitu kelelahan, ternyata gendongan yang ada dipunggung Ilah
tidak lain adalah barang dagangan yang mungkin bagi sebagian kita bukan
apa-apa, barang dagangan yang dibawa Ilah dalam bahasa Gayo disebut dengan tawar
matah (rempah-rempah alam yang terdiri dari pisang muda, pucuk menet,
pucuk baro dll).
Barang dagangan tersebut dibawa ke pasar untuk dijual,
namun sedikit sekali dari kita yang ber-empati untuk hanya sedikit saja menyapa
atau sekedar “iseng” membeli barang dagangan tersebut. Akhirnya Ilahpun kembali
pulang ke Gunyak membawa hasil barang dagangannya yang sering tidak laku.
Penghasilan Ilah bukan semata-mata dari hasil penjualan barang dagangannya,
namun ternyata masih banyak orang yang ber-empati dan dengan suka rela memberi
Ilah uang atau sedekah ala kadarnya. Lagi-lagi Ilah tidak serta merta menerima
uang itu tanpa terlebih dahulu meminta keikhlasan orang yang memberinya uang.
Ilah, masih saja tidak mau menerima kehidupan secara
gratis, “Ilah” walaupun tidak berarti bagi sebagian kita namun sikapnya dalam
memandang hidup patut menjadi tauladan bagi banyak kita.
Namun, Saat ini kita tidak lagi bisa melihat perempuan
renta itu berjalan didepan rumah atau sepanjang jalan Gunyak-Kota Blangkejeren,
perempuan yang berjalan tanpa lelah dengan membawa segudang harapan untuk terus
bertahan hidup. Saat ini kita tidak lagi dapat bertatap mata atau hanya sekedar
menyapa sambil memberinya harapan dan saat ini kita tidak lagi dapat menjadikannya
ladang amal untuk berbagi.
Ketika tulisan
ini kita baca bersama, Ilah telah tiada, Ilah telah terbaring lemah tanpa daya
dan nyawa setelah kepergiannya sebulan silam di usia senja yang penuh tauladan
seorang perempuan baja dari Kampung Gunyak. Semoga masih banyah Ilah-Ilah
lainnya diluar sana dengan semangat yang sama.
Terima kasih
Ilah, walaupun engkau bukan insipirator bagi seiisi dunia, namun engkau adalah
guru bagi kehidupan kami. And the last, just wanna say, Tribute to Ilah Gunyak.
(Ba’da Fajar Kota Blangkejeren, Januari 2012, kupersembahkan tulisan ini buat terkasih
Ilah Gunyak, semoga inspirasi ini menjadi amal jariah bagimu, amien…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar