Sabtu, 16 Januari 2016

PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK BAGI PEREMPUAN GAYO LUES



PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK BAGI PEREMPUAN GAYO LUES
OLEH: SARTIKA MAYASARI, SSTP[1]
Pengantar
Pemilihan Umum Legislatif telah didepan mata, pesta rakyat akan segera diselenggarakan dengan harapan ada sebuah perubahan menuju pembangunan disegala sendi kehidupan masyarakat. Hal yang menarik dari pemilihan legislatif kali ini ditandai dengan hadirnya peraturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang memberikan hak bagi perempuan dengan kuota 30 persen untuk menduduki kursi legislatif.
Fenomena hadirnya undang-undang tersebut memberi arti tersendiri bagi kaum perempuan di Gayo Lues yang sebelumnya mereka yang berkiprah dipentas politik dapat dihitung dengan jari. Dengan hadirnya undang-undang tersebut diharapkan peran perempuan dapat memberi warna yang konstruktif bagi pembangunan Kabupaten Gayo Lues kedepan.
Bila ditilik dari sejarah masa silam perjuangan para perempuan Gayo Lues, tidak jauh berbeda dengan perempuan didaerah lainnya, Inen Mayak Tri sebagai figur perempuan tangguh misalnya dapat menjadi inspirasi perempuan Gayo Lues dengan semangat juang menumpas kaphee Belanda, karena situasi politik pada masa itu demikian adanya. Saat ini dengan kehidupan merdeka lengkap dengan segenap fasilitas yang ada tugas kita bersama adalah meneruskan perjuangan tersebut, tentunya dengan situasi politik dan perkembangan zaman pada saat ini, kuncinya adalah ILMU. Disinilah pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan.
Pendidikan politik merupakan pendidikan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh para pelaku politik semata, semua perempuan dengan latar belakang apapun dapat menikmati pendidikan politik yang sama baik selaku pengamat, pendidik dan bahkan bagi pelaku politik itu sendiri.
Belajar dari para Sulthanah Aceh
Kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam menjadi bukti sejarah ketangguhan para sulthanah (Ratu) didalamnya dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga dalam sebuah Hadih Maja disebutkan Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana, artinya ketika adat dimaksudkan kepada Sultan Iskandar Muda karena kewibawaannya dan keluasan wawasan yang dimilikinya, masalah hukum dimaksudkan kepada Syiah Kuala selaku ulama karena keluasan ilmu agama dan ijtihadnya, Masalah peraturan daerah (qanun) dimaksudkan kepada Putri Pahang yaitu istri Sulthan Iskandar Muda karena kelihainnya dalam menyusun strategi pemerintahan khususnya dibidang legislatif dan yang terakhir Reusam atau aturan keprotokolan dimaksudkan kepada Laksmana Malahayati karena kepiawaiannya mengatur strategi perang di medan juang. Poin yang menarik dalam Hadih Maja tersebut menyebutkan Putri Pahang dan Laksmana Malahayati merupakan perempuan yang mewarisi kehebatan politik Aceh hingga saat ini sehingga mengilhami berdirinya Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewasa ini banyak literatur yang mengagungkan para perempuan yang ahli dalam bidang politik dari dunia barat, jarang sekali ada literatur yang membahas peran politik perempuan Aceh dengan kegemilangan pada Kerajaan Aceh Darussalam dibawah kepemimpinan Sulthanah (Ratu) megenai ketangguhan dan kecanggihan strategi politik para perempuan Aceh, jadi mengapa kita harus selalu berkiblat kedunia barat?.toh di negeri kita juga telah terbukti peran perempuan tidak kalah peran pentingnya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebagai perbandingan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dan dunia Eropa pada masa itu sebagaimana pada abad ke-tujuh belas Eropa sebagaimana yang ditulis oleh Mary Wollstonecraft melalui bukunya A Vindication of The Rigth of Woman (1792). Para perempuan masih dalam tahap penindasan sedangkan di Aceh kala itu telah dipimpin oleh empat ratu secara berurutan diantaranya, Sulthanah Safiatuddin (1641 - 1678), Nurul Alam (1675 - 1678), Inayat Zakiatuddin ( 1678 - 1688), dan Kumalat Zainatuddin (1688 - 1699), keempat Sulthanah tersebut menoreh sejarah peradaban bagaimana perempuan berkiprah tidak hanya di ranah domestik sebagai istri dan ibu dari suami dan anaknya namun mereka mampu membawahi kerajaan yang begitu besar, tentunya tidak dengan serta merta mereka dapat menjalankan roda pemerintahan tanpa ilmu yang mumpuni. Disinilah pentingnya pendidikan politik bagi kaum perempuan.
Dualisme peran, antara urusan domestik dan ranah publik.
Perempuan dalam beragam literatur dinyatakan sebagai sosok yang tangguh, hal ini tercermin dari kemampuananya me-manage urusan kesehariannya selaku istri, ibu dan selaku masyarakat sosial. Bagi mereka yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga peran yang dilakukannya mungkin hanya mengurusi ranah domestik (sumur, dapur dan kasur) semata, namun bagi mereka yang memiliki peran ganda baik dalam ranah domestik dan publik, sudah barang tentu ada tenaga ekstra yang harus dikorbankan, bukan berarti penulis mengenyampingkan peran ibu rumah tangga yang hanya berkutat di ranah domestik, terbukti dari sekian banyak ibu rumah tangga yang ada di Kabupaten Gayo Lues selain sebagai ibu rumah tangga mereka juga mengurusi sawah, kebun dan bahkan ada yang membuka warung hanya untuk membantu sang suami menopang kebutuhan hidup berumah tangga. Ini juga dapat dikatakan peran ganda dan sebuah prestasi!.
Karena fokus dalam hal ini mengenai perempuan Gayo Lues yang terjun dalam pentas politik, menjadi menarik bila kedua peran sebagai ibu dan tokoh publik dijalankan tanpa ada kendala yang berarti. Inilah yang dapat dikataka prestasi. Jadi tidak bisa dikatakan perempuan itu sukses apabila terjadi ketimpangan pada salah satu perannya tersebut. Kedua-kedunya harus diseimbangkan.  Untuk itu berbahagialah menjadi perempuan yang telah dianugerahkan memiliki peran ganda tersebut, khusus bagi para aktor dan calon legislatif yang akan menuju kursi legislatif. Selamat!!!



[1] Penulis merupakan salah satu putri Gayo Lues yang sedang menempuh pendidikan di Pasca sarjana Universitas Gadjah Mada jurusan Politik Lokal dan Otonomi Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar