PENTINGNYA
PENDIDIKAN POLITIK BAGI PEREMPUAN GAYO LUES
OLEH:
SARTIKA MAYASARI, SSTP[1]
Pengantar
Pemilihan Umum Legislatif telah didepan
mata, pesta rakyat akan segera diselenggarakan dengan harapan ada sebuah
perubahan menuju pembangunan disegala sendi kehidupan masyarakat. Hal yang
menarik dari pemilihan legislatif kali ini ditandai dengan hadirnya peraturan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang memberikan hak
bagi perempuan dengan kuota 30 persen untuk menduduki kursi legislatif.
Fenomena hadirnya undang-undang tersebut
memberi arti tersendiri bagi kaum perempuan di Gayo Lues yang sebelumnya mereka
yang berkiprah dipentas politik dapat dihitung dengan jari. Dengan hadirnya
undang-undang tersebut diharapkan peran perempuan dapat memberi warna yang
konstruktif bagi pembangunan Kabupaten Gayo Lues kedepan.
Bila ditilik dari sejarah masa silam
perjuangan para perempuan Gayo Lues, tidak jauh berbeda dengan perempuan didaerah
lainnya, Inen Mayak Tri sebagai figur perempuan tangguh misalnya dapat menjadi
inspirasi perempuan Gayo Lues dengan semangat juang menumpas kaphee Belanda,
karena situasi politik pada masa itu demikian adanya. Saat ini dengan kehidupan
merdeka lengkap dengan segenap fasilitas yang ada tugas kita bersama adalah
meneruskan perjuangan tersebut, tentunya dengan situasi politik dan
perkembangan zaman pada saat ini, kuncinya adalah ILMU. Disinilah pentingnya
pendidikan bagi kaum perempuan.
Pendidikan politik merupakan pendidikan
yang tidak hanya dapat dinikmati oleh para pelaku politik semata, semua
perempuan dengan latar belakang apapun dapat menikmati pendidikan politik yang
sama baik selaku pengamat, pendidik dan bahkan bagi pelaku politik itu sendiri.
Belajar dari para Sulthanah Aceh
Kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam
menjadi bukti sejarah ketangguhan para sulthanah (Ratu) didalamnya dalam
menjalankan roda pemerintahan, sehingga dalam sebuah Hadih Maja disebutkan Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah
Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana, artinya ketika adat
dimaksudkan kepada Sultan Iskandar Muda karena kewibawaannya dan keluasan
wawasan yang dimilikinya, masalah hukum dimaksudkan kepada Syiah Kuala selaku
ulama karena keluasan ilmu agama dan ijtihadnya, Masalah peraturan daerah
(qanun) dimaksudkan kepada Putri Pahang yaitu istri Sulthan Iskandar Muda
karena kelihainnya dalam menyusun strategi pemerintahan khususnya dibidang
legislatif dan yang terakhir Reusam atau aturan keprotokolan dimaksudkan
kepada Laksmana Malahayati karena kepiawaiannya mengatur strategi perang di
medan juang. Poin yang menarik dalam Hadih Maja tersebut menyebutkan Putri
Pahang dan Laksmana Malahayati merupakan perempuan yang mewarisi kehebatan
politik Aceh hingga saat ini sehingga mengilhami berdirinya Dewan Perwakilan
Rakyat.
Dewasa ini banyak literatur yang
mengagungkan para perempuan yang ahli dalam bidang politik dari dunia barat,
jarang sekali ada literatur yang membahas peran politik perempuan Aceh dengan
kegemilangan pada Kerajaan Aceh Darussalam dibawah kepemimpinan Sulthanah
(Ratu) megenai ketangguhan dan kecanggihan strategi politik para perempuan Aceh, jadi mengapa kita harus selalu berkiblat kedunia barat?.toh di
negeri kita juga telah terbukti peran perempuan tidak kalah peran pentingnya
dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebagai perbandingan pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam dan dunia Eropa pada masa itu sebagaimana pada abad ke-tujuh belas
Eropa sebagaimana yang ditulis oleh Mary Wollstonecraft melalui bukunya A
Vindication of The Rigth of Woman (1792). Para perempuan masih dalam tahap
penindasan sedangkan di Aceh kala itu telah dipimpin oleh empat ratu secara
berurutan diantaranya, Sulthanah
Safiatuddin (1641 - 1678), Nurul Alam (1675 - 1678), Inayat Zakiatuddin ( 1678
- 1688), dan Kumalat Zainatuddin (1688 - 1699), keempat Sulthanah tersebut
menoreh sejarah peradaban bagaimana perempuan berkiprah tidak hanya di ranah
domestik sebagai istri dan ibu dari suami dan anaknya namun mereka mampu
membawahi kerajaan yang begitu besar, tentunya tidak dengan serta merta mereka
dapat menjalankan roda pemerintahan tanpa ilmu yang mumpuni. Disinilah
pentingnya pendidikan politik bagi kaum perempuan.
Dualisme peran, antara urusan domestik dan
ranah publik.
Perempuan dalam beragam literatur
dinyatakan sebagai sosok yang tangguh, hal ini tercermin dari kemampuananya me-manage
urusan kesehariannya selaku istri, ibu dan selaku masyarakat sosial. Bagi
mereka yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga peran yang dilakukannya
mungkin hanya mengurusi ranah domestik (sumur, dapur dan kasur) semata, namun
bagi mereka yang memiliki peran ganda baik dalam ranah domestik dan publik,
sudah barang tentu ada tenaga ekstra yang harus dikorbankan, bukan berarti
penulis mengenyampingkan peran ibu rumah tangga yang hanya berkutat di ranah
domestik, terbukti dari sekian banyak ibu rumah tangga yang ada di Kabupaten
Gayo Lues selain sebagai ibu rumah tangga mereka juga mengurusi sawah, kebun
dan bahkan ada yang membuka warung hanya untuk membantu sang suami menopang
kebutuhan hidup berumah tangga. Ini juga dapat dikatakan peran ganda dan sebuah
prestasi!.
Karena fokus
dalam hal ini mengenai perempuan Gayo Lues yang terjun dalam pentas politik,
menjadi menarik bila kedua peran sebagai ibu dan tokoh publik dijalankan tanpa
ada kendala yang berarti. Inilah yang dapat dikataka prestasi. Jadi tidak bisa
dikatakan perempuan itu sukses apabila terjadi ketimpangan pada salah satu
perannya tersebut. Kedua-kedunya harus diseimbangkan. Untuk itu berbahagialah menjadi perempuan yang
telah dianugerahkan memiliki peran ganda tersebut, khusus bagi para aktor dan
calon legislatif yang akan menuju kursi legislatif. Selamat!!!
[1] Penulis
merupakan salah satu putri Gayo Lues yang sedang menempuh pendidikan di Pasca
sarjana Universitas Gadjah Mada jurusan Politik Lokal dan Otonomi Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar