HARDIKNAS : REFLEKSI IDENTITAS ACEH
Oleh : Sartika Mayasari Awaluddin[1]
Bukan
hal yang salah bila Aceh mendapat julukan “Seramoe Mekah”. Bagaimana tidak, keistimewaan
yang diberikan bagi Aceh merupakan integrasi dari karakteristik lokal yang
telah mendarah daging sepanjang sejarah perjalannanya. Agama, budaya dan
pendidikan melatarbelakangi penguatan keistimewaan identitas lokal (local
identity) yang hingga saat ini masih menjadi tradisi yang perlu diwariskan
bagi generasi Aceh di masa depan.
Memperingati
2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional merupakan momentum untuk mengingat
kembali sejarah pendidikan di Aceh. Baik pada masa keemasan Kerajaan Aceh
Darussalam (KAD), ketika Aceh menjadi Pillow studi dan pusat
perdagangan. Hingga saat ini pendidikan menjadi kegiatan formal bagi usia didik
yang dikerangkai dengan semangat otonomi daerah.
Memperoleh
pendidikan merupakan hak sekaligus kewajiban bagi siapa saja, tanpa mengenal
status sosial, warna kulit, suku, agama dan bangsa. Penjelasannya, pendidikan dikatakan
menjadi hak, ketika tugas Pemerintah selaku penyedia fasilitas pendidikan
bersedia sepenuh hati untuk melayani warga negaranya. Begitu juga halnya dengan
pendidikan sebagai kewajiban. Merupakan keharusan yang mutlak bagi setiap
manusia untuk memperoleh pendidikan guna meningkatkan kehidupan yang lebih
layak dan dapat menjadikan pengetahuan bermanfaat bagi sesama manusia lainnya. Bukankah
Rasulullah S.A.W sendiri telah menjelaskan bahwa pendidikan merupakan kewajiban
bagi muslim laki-laki dan perempuan?.
Aceh
sebagai daerah yang mendapat keistimewaan dalam hal pendidikan tidak tinggal
diam untuk memberantas ketertinggalan dan kebodohan. Usaha Pemerintah Aceh
dalam hal ini telah tertuang dalam bentuk Perda (Qanun) walaupun dalam praktek
penyelenggaraannya masih mengalami hambatan. Hal tersebut menjadi tantangan
bukan hanya bagi pemerintah Aceh namun bagi seluruh masyarakat Aceh yang peduli
terhadap kelestarian identitas Aceh. Identitas yang tidak dapat diciptakan
dalam waktu singkat, namun butuh proses yang amat panjang.
Pendidikan
di Aceh masih membutuhkan peningkatan standar kurikulum sehingga mampu bersaing
dengan daerah lainya di Indonesia bahkan dunia. Program Pemerintah Aceh dalam
bidang pendidikan dekade ini menunjukkan banyak kemajuan dengan menjalin
kerjasama dengan pemerintah asing melalui beragam program beasiswa dan adopsi
pendidikan luar yang diselaraskan dengan karakteristik lokal.
Bila dapat ditilik dari sejarah masa silam
Aceh, masyarakat Aceh seolah mengalami “de javu pendidikan”. Bagaimana
tidak, Aceh dimasa kerajaan Aceh Darussalam telah membebaskan masyarakatnya
untuk menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia dan hal tersebut berulang kembali
saat ini. Dimana para usia didik di Aceh telah melalang buana menuntut ilmu ke
berbagai belahan dunia. Fenomena ini menunjukkan keterkaitan identitas agama
didalamnya, doktrin yang diajarkan Nabi telah menjiwai sikap hidup “Menuntut
Ilmu hingga ke negeri Cina”.
Aceh
sebagai pusat pengembangan pengetahuan yang telah lebih dari 500 tahun
mempertahankan eksistensi dayah yang merupakan salah satu bukti keberhasilan
Aceh dalam mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) di bidang
pendidikan. Walaupun akhir-akhir ini metode tersebut dikhawatirkan akan membuat
santri tidak fleksibel alias kaku dalam hidup bermasyarakat.
Dayah identik dengan suguhan
kitab kuning, metode belajar yang
diajarkan seputar hafalan dan halaqah plus hanya
diam menyimak ketika sang teungku membacakan kitab kuning. Bantahan demi bantahan kiranya
mampu meng-cover fenomena
tersebut dengan realita bahwa tamatan Dayah banyak melahirkan para think
tank yang diperioritaskan akan menjadi
Agent Of Change-nya Aceh.
Rasa, Asa dan Karsa yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara
(bapak pendidikan Indonesia serta menteri
Pendidikan Indonesia pertama)
melalui asuhannya di Taman Siswa merupakan refleksi dari pemikiran yang diawali
dari semangat lokal yang mengejawantah. Semangat ini pada akhirnya melahirkan
semangat yang menyebar diranah nasional.
Assesment
menarik bila dilihat dari sederhananya semangat
tersebut dan dihubungkan dengan sejarah masa silam Aceh, mengapa Aceh tidak
mampu membangun semangat pendidikan yang telah lama dikenal sebagai Pillow Study?
Tulisan ini tidak mengajak para pembaca untuk melakukan euphoria sejarah Aceh, namun lebih kepada mempertahankan identitas Aceh yang
semakin hari terseret kepada arus globalisasi yang semakin tidak terkendali.
Asumsi di atas di konstruksi berdasarkan fakta keluasan ilmu
dan keteguhan para pendahulu kita mempertahankan identitas tersebut yang dengan
sepenuh hati menyumbangkan segenap pikirannya untuk memajukan pendidikan di
Aceh. Jadi mengapa kita yang merusak identitas tersebut?.
Acapkali dalam proses membangun pendidikan tersandung dalam
hal dana, tidak menutup mata dari kemungkinan terjadi di belahan Aceh masih
banyak saudara kita yang belum memperoleh pendidikan yang layak. Selain
fasilitas pendidikan yang terbatas serta kondisi ekonomi yang berkecukupan,
para usia didik di beberapa daerah di Aceh lebih memilih melakukan aktifitas
memikul kayu bakar, berternak dan bersawah. Apakah tidak ada rencana kita untuk
meng-gratiskan pendidikan? Sebagaimana
layaknya Kabupaten Jembrana di Bali yang telah sukses dengan pendidikan dan
kesehatan gratisnya. Atau ada desain pelayanan pendidikan lainnya dalam bentuk
swadaya yang perlu kita ciptakan untuk menanggulangi kebodohan di Aceh?? Mari
bersama kita fikirkan untuk pendidikan Aceh yang lebih baik.
Karena permasalahan pendidikan bukan menjadi tanggungjawab
Pemerintah saja, namun ada kerelaan hati dari kita selaku individu untuk
mewujudkan pelayanan terbaik bagi pendidikan, tidak hanya sebagai identitas
yang ingin dipertahankan, akan tetapi jauh dari pada membangun rasa
persaudaraan yang mengikat kita melalui pendidikan.
Dengan
identitas ke-Acehan yang kita miliki, sudah sepantasasnya kita bersyukur
sebagai masyarakat yang diberi kesempatan dan ruang yang luas dalam memperoleh
pendidikan untuk pembangunan Aceh dimasa depan. Dengan demikian kebaikan dan
kemashlahatan akan bertebar untuk mewujudkan Nangroe yang Baldathun
Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafuur. Amien
[1] Penulis
merupakan Mahasisiwi Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik UGM Yogyakarta dan
merupakan Purna Praja STPDN, Bandung, ‘07 serta Alumni dari Madrasah Ulumul
Qur’an, Langsa ’03.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar