Sabtu, 16 Januari 2016

HARDIKNAS : REFLEKSI IDENTITAS ACEH



HARDIKNAS : REFLEKSI IDENTITAS ACEH
Oleh : Sartika Mayasari Awaluddin[1]

            Bukan hal yang salah bila Aceh mendapat julukan “Seramoe Mekah”. Bagaimana tidak, keistimewaan yang diberikan bagi Aceh merupakan integrasi dari karakteristik lokal yang telah mendarah daging sepanjang sejarah perjalannanya. Agama, budaya dan pendidikan melatarbelakangi penguatan keistimewaan identitas lokal (local identity) yang hingga saat ini masih menjadi tradisi yang perlu diwariskan bagi generasi Aceh di masa depan.
            Memperingati 2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional merupakan momentum untuk mengingat kembali sejarah pendidikan di Aceh. Baik pada masa keemasan Kerajaan Aceh Darussalam (KAD), ketika Aceh menjadi Pillow studi dan pusat perdagangan. Hingga saat ini pendidikan menjadi kegiatan formal bagi usia didik yang dikerangkai dengan semangat otonomi daerah.
            Memperoleh pendidikan merupakan hak sekaligus kewajiban bagi siapa saja, tanpa mengenal status sosial, warna kulit, suku, agama dan bangsa. Penjelasannya, pendidikan dikatakan menjadi hak, ketika tugas Pemerintah selaku penyedia fasilitas pendidikan bersedia sepenuh hati untuk melayani warga negaranya. Begitu juga halnya dengan pendidikan sebagai kewajiban. Merupakan keharusan yang mutlak bagi setiap manusia untuk memperoleh pendidikan guna meningkatkan kehidupan yang lebih layak dan dapat menjadikan pengetahuan bermanfaat  bagi sesama manusia lainnya. Bukankah Rasulullah S.A.W sendiri telah menjelaskan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan?.
            Aceh sebagai daerah yang mendapat keistimewaan dalam hal pendidikan tidak tinggal diam untuk memberantas ketertinggalan dan kebodohan. Usaha Pemerintah Aceh dalam hal ini telah tertuang dalam bentuk Perda (Qanun) walaupun dalam praktek penyelenggaraannya masih mengalami hambatan. Hal tersebut menjadi tantangan bukan hanya bagi pemerintah Aceh namun bagi seluruh masyarakat Aceh yang peduli terhadap kelestarian identitas Aceh. Identitas yang tidak dapat diciptakan dalam waktu singkat, namun butuh proses yang amat panjang.
            Pendidikan di Aceh masih membutuhkan peningkatan standar kurikulum sehingga mampu bersaing dengan daerah lainya di Indonesia bahkan dunia. Program Pemerintah Aceh dalam bidang pendidikan dekade ini menunjukkan banyak kemajuan dengan menjalin kerjasama dengan pemerintah asing melalui beragam program beasiswa dan adopsi pendidikan luar yang diselaraskan dengan karakteristik lokal.
 Bila dapat ditilik dari sejarah masa silam Aceh, masyarakat Aceh seolah mengalami “de javu pendidikan”. Bagaimana tidak, Aceh dimasa kerajaan Aceh Darussalam telah membebaskan masyarakatnya untuk menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia dan hal tersebut berulang kembali saat ini. Dimana para usia didik di Aceh telah melalang buana menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia. Fenomena ini menunjukkan keterkaitan identitas agama didalamnya, doktrin yang diajarkan Nabi telah menjiwai sikap hidup “Menuntut Ilmu hingga ke negeri Cina”.
            Aceh sebagai pusat pengembangan pengetahuan yang telah lebih dari 500 tahun mempertahankan eksistensi dayah yang merupakan salah satu bukti keberhasilan Aceh dalam mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) di bidang pendidikan. Walaupun akhir-akhir ini metode tersebut dikhawatirkan akan membuat santri tidak fleksibel alias kaku dalam hidup bermasyarakat.
Dayah identik dengan suguhan kitab kuning,  metode belajar yang diajarkan seputar hafalan dan halaqah plus hanya diam menyimak ketika sang teungku membacakan kitab kuning. Bantahan demi bantahan kiranya mampu meng-cover fenomena tersebut dengan realita bahwa tamatan Dayah banyak melahirkan para think tank yang diperioritaskan akan menjadi Agent Of Change-nya Aceh.
Rasa, Asa dan Karsa yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara (bapak pendidikan Indonesia serta menteri Pendidikan Indonesia pertama) melalui asuhannya di Taman Siswa merupakan refleksi dari pemikiran yang diawali dari semangat lokal yang mengejawantah. Semangat ini pada akhirnya melahirkan semangat yang menyebar diranah nasional.
Assesment menarik bila dilihat dari sederhananya semangat tersebut dan dihubungkan dengan sejarah masa silam Aceh, mengapa Aceh tidak mampu membangun semangat pendidikan yang telah lama dikenal sebagai Pillow Study?
Tulisan ini tidak mengajak para pembaca untuk melakukan euphoria sejarah Aceh, namun lebih kepada mempertahankan identitas Aceh yang semakin hari terseret kepada arus globalisasi yang semakin tidak terkendali.
Asumsi di atas di konstruksi berdasarkan fakta keluasan ilmu dan keteguhan para pendahulu kita mempertahankan identitas tersebut yang dengan sepenuh hati menyumbangkan segenap pikirannya untuk memajukan pendidikan di Aceh. Jadi mengapa kita yang merusak identitas tersebut?.
Acapkali dalam proses membangun pendidikan tersandung dalam hal dana, tidak menutup mata dari kemungkinan terjadi di belahan Aceh masih banyak saudara kita yang belum memperoleh pendidikan yang layak. Selain fasilitas pendidikan yang terbatas serta kondisi ekonomi yang berkecukupan, para usia didik di beberapa daerah di Aceh lebih memilih melakukan aktifitas memikul kayu bakar, berternak dan bersawah. Apakah tidak ada rencana kita untuk meng-gratiskan pendidikan? Sebagaimana layaknya Kabupaten Jembrana di Bali yang telah sukses dengan pendidikan dan kesehatan gratisnya. Atau ada desain pelayanan pendidikan lainnya dalam bentuk swadaya yang perlu kita ciptakan untuk menanggulangi kebodohan di Aceh?? Mari bersama kita fikirkan untuk pendidikan Aceh yang lebih baik.
Karena permasalahan pendidikan bukan menjadi tanggungjawab Pemerintah saja, namun ada kerelaan hati dari kita selaku individu untuk mewujudkan pelayanan terbaik bagi pendidikan, tidak hanya sebagai identitas yang ingin dipertahankan, akan tetapi jauh dari pada membangun rasa persaudaraan yang mengikat kita melalui pendidikan.
            Dengan identitas ke-Acehan yang kita miliki, sudah sepantasasnya kita bersyukur sebagai masyarakat yang diberi kesempatan dan ruang yang luas dalam memperoleh pendidikan untuk pembangunan Aceh dimasa depan. Dengan demikian kebaikan dan kemashlahatan akan bertebar untuk mewujudkan Nangroe yang Baldathun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafuur. Amien



[1] Penulis merupakan Mahasisiwi Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik UGM Yogyakarta dan merupakan Purna Praja STPDN, Bandung, ‘07 serta Alumni dari Madrasah Ulumul Qur’an, Langsa ’03.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar